Sambo Efek Menular di Buleleng, Peran Justice Collaborator Menjadi Perbincangan Kalangan Kampus

diskusi hukum
Diskusi Hukum dengan tema Peran Justice Collaborator Dalam Mengungkap Kasus-kasus Tindak Pidana di Indonesia, yang digelar LSM KoMPaK bekerjasama dengan FH Unipas Singaraja. (cha)

SINGARAJA | patrolipost.com – Kasus Irjen (Pol) Ferdy Sambo ternyata efeknya meluas hingga kalangan kampus. Tidak saja kasus kematian Brigadir Yoshua Hutabarat atau Brigadir J yang menjadi sorotan namun peran Bharada E yang diduga terlibat dalam kasus itu ikut menjadi perbincangan hangat.

Nama Bharada E menjadi menarik di kalangan akademisi terutama setelah permohonannya sebagai Justice Collaborator diterima. Peran kunci Bharada E yang menjadi salah satu pelaku dalam kasus tersebut diharap bisa membuka tabir di balik kasus itu untuk memudahkan aparat penegak hukum mengungkapnya.

Fakultas Hukum (FH) Universitas Panji Sakti (Unipas) Singaraja bekerja sama dengan LSM KoMPaK (Komunitas Masyarakat untuk Penegakan Hukum dan Keadilan) menggelar Diskusi Hukum untuk menyambut HUT ke-77 RI. Temanya cukup menarik yakni “Peran Justice Collaborator Dalam Mengungkap Kasus-kasus Tindak Pidana  di Indonesia”.

Acara diskusi tersebut menghadirkan Dekan FH Unipas Dr I Nyoman Gede Remaja SH MH, Ketua LSM KoMPAK I Nyoman Angga Saputra Tusan SH serta praktisi hukum yang juga Advokat senior I Nyoman Sunarta SH. Hadir juga dalam kesempatan itu KBO Satreskrim Polres Buleleng Ipda Made Anayasa dan sejumlah mahasiswa FH Unipas Singaraja, Undiksha dan STAH M Kuturan, bertempat di Auditorium Unipas.

Dr I Nyoman Gede Remaja saat menjadi narasumber dalam diskusi hukum di Kampus Unipas tersebut menyampaikan bahwa Justice Collaborator merupakan suatu istilah yang pertama kali dikenal di Amerika Serikat dalam pengungkapan suatu kejahatan yang dilakukan oleh Mafia Kejahatan dengan menggunakan Code of Silence, akhirnya terungkap berkat jasa Justice Collaborator. Istilah ini menjadi tren digunakan di Indonesia dalam kasus-kasus kejahatan tertentu terutama yang terkategori extra ordinary crime.

“Belakangan ini menjadi lebih viral setelah Barada E mengajukan diri sebagai Justice Collaborator dan permohonannya diterima. Ia berstatus sebagai pelaku yang bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membuka tabir kejahatan yang bersifat serius, salah satunya kejahatan yang dilakukan secara terorganisir,” kata Nyoman Gede Remaja.

Menurutnya, peran justice collaborator untuk mengungkap sebuah kasus tindak pidana kejahatan sangat penting. Pasalnya untuk mengungkap kasus kejahatan bersifat serius  semisal extra ordinary crime diantaranya terorisme, narkoba, korupsi, traffiking atau perdagangan orang termasuk diantaranya TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) merupakan kejahatan yang berdampak buruk di tengah masyarakat.

“Kejahatan bersifat serius dan terorganisir yang dalam proses pengungkapannya memerlukan perlakuan ekstra maka perlu adanya peran justice collaborator. Tanpa keterlibatan salah satu pelakunya maka aparat penegak hukum polisi maupun jaksa akan sedikit kesulitan mengurai sebuah kasus karena terorganisir itu,” imbuhnya.

Kata Nyoman Gede Remaja, seseorang yang mengajukan diri sebagai justice collaborator bukan tanpa sebab. Paling tidak dia mendapatkan keringanan hukuman atas kasus yang tengah ia hadapi. Dan itu,  merupakan hak yang harus diberikan kepada mereka jika seseorang mengajukan diri sebagai justice collaborator.

“Jika pelaku kejahatan telah berkomitmen menjadi seorang justice collaborator yang akan membongkar sebuah tindak kejahatan bersama kelompoknya, maka negara harus memberikan haknya seperti hak perlindungan fisik dan psikis dari ancaman kelompoknya termasuk kepada keluarganya,” papar Gede Remaja.

Menurutnya beberapa pengalaman di banyak negara, peran justice collaborator sangat efektif untuk mengungkap kejahatan-kejahatan serius, yang memberikan dampak yang luar biasa kepada keadilan masyarakat.

“Pengaturan Justice Collaborator di Indonesia dapat ditemukan dalam beberapa peraturan, terutama UU mengatur tentang perlindungan saksi dan korban dan juga dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011,”ucap Remaja.

Sementara narasumber yang juga pembina LSM KoMPaK dan Advokat senior, Nyoman Sunarta menjelaskan,  justice collaborator ini baru tersirat belum tersurat. Dan selama ini masih berlangsung di tingkat pusat. Sedangkan untuk di wilayah hukum Polres Buleleng, sampai saat ini belum ada pelaku tindak pidana yang mengajukan diri sebagai Justice Collaborator.

“Ini menjadi catatan bersama. Ya, saya rasa ini kekurangpahaman pelaku atau pendamping pelaku kasus pidana. Di sini peran advokat yang menjadi pendamping pelaku, meyakinkan pelaku menjadi justice collaborator. Untuk menjadi justice collaborator harus inisiatif pelaku mengajukan ke LPSK, jika LPSK mengabulkan, harus mengungkap siapa pelaku utama. Reward yang diberikan itu bisa pengurangan hukuman minimal,” jelas Sunarta.

Sedangkan Ketua LSM KoMPaK, I Nyoman Angga Saputra Tusan mengatakan, diskusi hukum ini dilakukan untuk memberikan pemahaman peran justice collaborator dalam rangka pengungkapan kasus kejahatan yang terkategori exra ordinary crime.

“Ambil contoh kasus Bharada E yang menjadi salah satu pelaku dalam kasus tersebut, membuka siapa pelaku utama dan motif dari pembunuhan Brigadir J, sehingga kasus ini terang dan jelas,” tandasnya. (625)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *