DENPASAR | patroliost.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong pariwisata eksklusif untuk memiliki perspektif yang tidak meninggalkan sekelompok apa pun dalam lingkungan bisnis atau pariwisata.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI Putu Elvina mengatakan, tidak semua pelaku bisnis menyadari bahwa pekerja, lingkungan berbisnis maupun masyarakat yang terdampak oleh praktik bisnisnya tidak bisa menikmati hak-haknya secara baik.
Komnas HAM, kata Putu Elvina, pada periode 2020-2023 telah menerima sebanyak 1.700 pengaduan koorporasi yang diduga melakukan pelanggaran HAM oleh pelaku usaha terkait kasus agraria dan ketenaga kerjaan.
“Kalau melihat persentase, maka prosentase terbesar dari tahun ke tahun terkait pelanggaran HAM masih disematkan kepada penegak hukum,” kata Putu Elvina, dalam seminar ‘Mendorong Pariwisata yang Inklusif dan Berkelanjutan yang diadakan oleh Komnas HAM RI di Mercure Resort Sanur, Senin (18/3/2024).
Komnas HAM sebagai lembaga negara memilik tanggung jawab untuk memastikan kondisi, dengan melakukan mediasi sengketa terkait pelanggaran HAM di tingkat nasional maupun lokal.
“Misalnya sengketa pelaku usaha dan masyarakat,” imbuhnya.
Komisioner Komnas HAM RI Prabianto Mukti Wibowo menjelaskan, Komnas HAM telah menyelesaikan sejumlah sengketa dengan metode mediasi yang berprinsip pada voluntery.
“Dari 1.700 kasus diduga pelanggaran HAM, sebanyak 40 hingga 60 persen telah dimediasi. Tetapi yang betul-betul berhasil mencapai perdamaian sekitar 30 persen hingga 40 persen,” jelas Prabianto.
Menurutnya, dalam satu kasus pelanggaran membutuhkan waktu 3-4 bulan, sesuai dengan kompleksitas perkara dan komitmen masing-masing pihak.
“Karena kalau kita berhadapan dengan koorporasi biasanya mereka maunya penyelesaian hukum. Kalau lewat hukum masyarakat sudah pasti pada posisi lemah. Dan kalah di pengadilan,” jelasnya.
Di Bali kasus pelanggaran HAM yang pernah dilaporkan ke Komnas HAM oleh masyarakat di Desa Batur, Kintamani, adalah Kawasan Hutan Lindung yang saat ini menjadi penguasaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
KLHK memberikan konsesi ke investor. Sementara, masyarakat telah memanfaatkan kawasan itu melalui kehutanan sosial atau pun hutan kemasyarakatan.
“Tetapi belakangan ini ada perubahan kebijakan di mana pengelola kehutanan setempat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Gunung Batur yang memberikan konsesi ke investor dengan mengorbankan masyarakat yang sudah hidup turun temurun di kawasan tersebut,” jelasnya. (pp03)