RUTENG | patrolipost.com – Keberagaman budaya nusantara antara lain tampak dari beragamnya proses adat perkawinan. Wilayah Indonesia Timur khususnya NTT juga mempunyai beragam proses adat perkawinan, mulai dari yang mudah dan murah tuntutan adatnya sampai yang rumit berbelit-belit dan mahal.
Seorang pria asal Manggarai sebut saja RF (28) menjelaskan tentang rumitnya adat perkawinan di daerah Sumba Barat Daya (SBD). Selain rumit dan mahal, urusan adat SBD terkenal tanpa kompromi. Diketahui RF pernah mempunyai pasangan asal SBD dan dipisahkan perbedaan adat.
“Soal mahal dan tidaknya bukan masalah, tapi adat pernikahan di sana tidak kenal kompromi. Pihak keluarga dari SBD tidak memberi penjelasan detail terkait tahapan proses adat perkawinan adat di sana,” ungkap RF kepada patrolipost.com di Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, Jumat (13/8/2021).
Lebih lanjut RF menuturkan, seserahan yang diberikan kepada keluarga perempuan pun sulit dijangkau oleh orang yang hidup pas-pasan. Belasan ekor kerbau dan kuda harus diserahkan agar perempuan tersebut bisa hidup bersama laki-laki yang dicintainya. Terkait tahapan menurut RF, adat pernikahan SBD hampir sama dengan Manggarai, namun nilai seserahan jauh berbeda.
“Adat pernikahan SBD, sebelum ‘lunas’ perempuan belum bisa diajak ke rumah pihak laki-laki. Dia akan bertahan di rumah orangtuanya sampai semua seserahan yang diminta lunas,” imbuh RF.
Dikutip dari Kompasiana.com, tahapan pernikahan adat SBD meliputi beberapa tahap yakni ketuk pintu (Tunda binna), Masuk minta (kette katonga yang dilanjutkan ikat adat/kette Nakatonga) kemudian adalah proses akhir adalah perempuan pindah ke keluarga laki-laki (dikki). Proses ini tentunya dilakukan setelah membayar sejumlah belis yang terdiri dari puluhan ekor kerbau dan kuda, parang, tombak, dan mamoli.
Dilihat dari kacamata modern, tuntutan belis (seserahan) yang terlampau mahal tentu saja sangat menghambat untuk meningkatkan taraf hidup karena pelunasan bisa saja dengan berutang. NTT yang pada umumnya sebagai provinsi miskin di Indonesia tidak akan maju karena tuntutan adat yang mahal. Bahkan adanya istilah ‘pembeli’ perempuan untuk pihak laki-laki mengisyaratkan adanya proses ‘penjualan’. Ini tentunya masuk dalam ranah bisnis. Banyak anak perempuan dalam satu keluarga menjadi berkah bagi orangtua karena suatu saat bisa jadi kaya.
Pernikahan yang mahal bertopengkan urusan adat warisan leluhur sebagai dalih untuk tidak berbisnis secara terbuka. Belis yang mahal diyakini simbol harga diri pihak laki-laki, namun jika dilihat dari sisi lain, ini merupakan sebuah proses merendahkan martabat perempuan. Bukan ingin mengubah warisan leluhur, adat pernikahan sepatutnya dikolaborasikan dengan pola pikir modern agar kembali kepada hakikatnya sebagai ‘seni’ menyatukan dua insan yang saling mencintai. (pp04)