JAKARTA | patrolipost.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan perwira Polri AKBP Bambang Kayun. Perwira menengah Polri itu merupakan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulya (ACM).
Bambang Kayun sendiri kini menjabat sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri.
“Untuk kepentingan dan kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka Bambang Kayun untuk 20 hari pertama, terhitung dari 3 Januari 2023 sampai dengan 22 Januari 2023 di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/1).
Firli menjelaskan, perkara dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Bambang Kayun bermula dari adanya pelaporan ke Bareksrim Mabes Polri, terkait dugaan pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia, dengan pihak terlapor Emilya Said dan Herwansyah.
Emilya Said dan Herwansyah melalui rekomendasi salah seorang kerabatnya, kemudian diperkenalkan dengan tersangka Bambang Kayun, yang saat itu di mutasi sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri untuk berkonsultasi.
“Sebagai tindak lanjutnya, sekitar Mei 2016 bertempat di salah satu hotel di Jakarta dilakukan pertemuan antara Emilya Said dan Herwansyah dengan Bambang Kayun,” ungkap Firli.
Bambang Kayun lantas menyatakan siap membantu Emilya dan Herwansyah. Namun, dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang dan barang.
“Tersangka BK lalu memberikan saran diantaranya untuk mengajukan surat permohonan perlindungan hukum dan keadilan terkait adanya penyimpangan penanganan perkara yang ditujukan pada Kepala Divisi Hukum Mabes Polri,” ujar Firli.
Menindaklanjuti permohonan dimaksud, Bambang Kayun lalu ditunjuk sebagai salah satu personel untuk melakukan verifikasi termasuk meminta klarifikasi pada Bareskrim Polri. Sekitar Oktober 2016, dilakukan rapat pembahasan terkait perlindungan hukum terhadap Emilya dan Herwansyah dilingkup Divisi Hukum Mabes Polri. Bambang Kayun lantas ditugaskan untuk menyusun kesimpulan hasil rapat, yang pada pokoknya menyatakan adanya penyimpangan penerapan hukum termasuk kesalahan dalam proses penyidikan.
“Dalam perjalanan kasusnya, ES dan HW lalu ditetapkan sebagai Tersangka oleh Bareksrim Polri,” beber Firli.
Terkait penetapan status tersangka ini, atas saran lanjutan dari Bambang Kayun, Emilya dan Herwansyah mengajukan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan saran tersebut, Bambang Kayun menerima uang sekitar Rp 5 miliar dari Emilya dan Herwansyah dengan teknis pemberiannya melalui transfer bank menggunakan rekening dari orang kepercayaannya.
“Selama proses pengajuan pra peradilan, diduga tersangka Bambang Kayun membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan. Sehingga hakim dalam putusannya menyatakan mengabulkan dan status penetapan tersangka tidak sah,” ungkap Firli.
Lantas Bambang Kayun pada Desember 2016 juga diduga menerima satu unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri. Sementara itu, pada April 2021, Emilya dan Herwansyah kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareksrim Mabes Polri dalam perkara yang sama.
“Diduga tersangka Bambang Kayun kembali menerima uang hingga berjumlah Rp 1 miliar
dari Emilya dan Herwansyah untuk membantu pengurusan perkara dimaksud, sehingga keduanya tidak kooperatif selama proses penyidikan, hingga akhirnya Emilya dan Herwansyah melarikan diri, yang kini masuk dalam DPO Penyidik Bareskrim Mabes Polri,” papar Firli.
Selain itu, Bambang Kayun juga diduga menerima uang secara bertahap yang diduga sebagai gratifikasi dan berhubungan dengan jabatannya dari beberapa pihak yang jumlah seluruhnya sekitar Rp 50 miliar.
“Tim penyidik KPK terus mengembangkan lebih lanjut informasi dan data terkait dengan perkara ini,” tegas Firli.
Bambang Kayun disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (305/jpc)