DENPASAR | patrolipost.com – Meski RKUHP telah disahkan menjadi KUHP pada 6 Desember 2022, namun tak dipungkiri adanya beberapa pasal yang masih dipergulatkan pro dan kontra. Terutamanya pasal yang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Mengingat, dalam negara demokrasi kebebasan berpendapat dan berekspresi sangat dilindungi.
Untuk itu, Front Demokrasi Perjungan Rakyat (Frontier) Bali menggelar diskusi publik BERDISKO #8 dengan mengusung tajuk ”Menakar Wajah Demokrasi di Bawah KUHP Baru” di Kubu Kopi Renon Denpasar, Kamis (19/1/2023) malam.
Kepala Divisi Agiprog Frontier-Bali Sathya mengatakan kurang setuju dengan diterapkannya beberapa pasal di dalam KUHP. Seperti pada pasal 218 tentang penyerang kehormatan atau harkat martabat diri presiden dan/atau wakil presiden di muka umum, pasal 256 tentang pidana demo tanpa pemberitahuan, pasal 188 tentang penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan pasal bermasalah lain. Menurutnya selain mencederai demokrasi, adanya pasal-pasal bermasalah ini justru menjadi salah satu tameng untuk membungkam.
“Andaikata nanti pemerintah mengeluarkan lagi kebijakan atau aturan-aturan baru, otomatis kita ada 2 sikap, diam atau menolak tapi ini kan sifatnya melanggar. Jadi pemerintah bisa dengan mudah membungkam seandainya kita ada aksi dadakan. Padahal itu kan hak kita,” ujar Sathya.
Pihaknya mengaku sebagai mahasiswa merasa makin tertekan dengan adanya KUHP ini. Lantaran adanya pasal yang tidak memberikan kebebasan dalam hal mengritisi, berpendapat dan berekspresi. Lalu, bagaimanakah jadinya wajah demokrasi ke depannya jika pasal-pasal bermasalah masih dipertahankan dalam KUHP?
“Pertanyaannya, apakah mereka (pemerintah) bisa membedakan kritik dan penghinaan. Takutnya ketika kita mengkritik justru disangka menghina,” sebutnya.
Sementara Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menjelaskan KUHP saat ini masih dalam masa transisi sebelum diterapkan pada 2026 mendatang. Sehingga memiliki kemungkinan pasal-pasal yang ditolak oleh banyak kalangan bisa diperbaharui atau diperbaiki. Pihaknya juga mengakui banyak pasal-pasal yang masih berbau kolonial yang ditujukan untuk melakukan penundukan kepada warga negara.
“Pasal penghinaan Presiden, lembaga negara, pasal larangan unjuk rasa gitu ya, pasal tentang penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Bagi saya itu masih bernada kolonial meskipun pasal-pasal penghinaan itu bentuknya sebagai delik aduan dan hukumannya diperingan tapi menurut saya mestinya pasal-pasal itu sudah tidak ada lagi dalam KHUP,” jelas Erasmus Napitupulu.
Erasmus berpendapat pasal-pasal tersebut merupakan gagalnya pemerintah dalam melakukan dekolonisasi KUHP. Pasal penghinaan terhadap presiden sah dilakukan apabila melindungi negara, hal ini merupakan personifikasi terhadap negara atau negara yang diwakili oleh presiden.
“Boleh kalau pidana itu benar-benar mengancam keamanan negara seperti ancaman makar, membunuh presiden atau makar dengan tujuan menggulingkan pemerintah ya boleh personifikasi. Tapi akan berbeda makna jika pasal tersebut ditujukan kepada perlindungan individu atau tujuannya melindungi harkat individu yang mana dia juga delik aduan kalau delik aduan itu kan individu,” imbuhnya.
Pihaknya berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali pasal-pasal bermasalah serta dalam implementasinya. Pihaknya juga merekomendasikan 2 hal kepada pemerintah dalam masa transisi.
Pertama, untuk memperbaiki pasal-pasal bermasalah yang mana hal ini tentunya sulit tapi tetap menjadi opsi. Kedua, dapat memastikan pada konteks penegakan hukum saat dalam implementasinya, aparat penegak hukum benar-benar telah memahami KUHP. (030)