JAKARTA | patrolipost.com – Ini peringatan bagi para pejabat negara yang bernafsu mengorupsi uang rakyat. Jika nekat melakukan korupsi senilai Rp100 miliar atau lebih dengan dampak yang menyusahkan masyarakat, mereka akan divonis pidana penjara seumur hidup.
Hukuman tersebut bisa terjadi karena Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan baru untuk mengantisipasi disparitas pidana bagi para pelaku korupsi dengan mengesahkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Perma ini ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 8 Juli 2020, diundangkan pada 24 Juli 2020, dan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Kendati demikian, tidak serta-merta mereka yang terlibat korupsi Rp100 miliar layak divonis seumur hidup karena ada prasyarat lainnya.
Prasyarat lain di antaranya terdakwa memiliki peran yang paling signifikan, menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih, korupsi dilakukan dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala nasional, berdampak nasional, dan mengakibatkan hasil pekerjaan sama sekali tidak dapat dimanfaatkan.
Selain itu, korupsi yang dilakukan juga mengakibatkan penderitaan bagi kelompok masyarakat rentan seperti orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan penyandang disabilitas; nilai kekayaan terdakwa sebesar 50 persen-nya atau lebih didapat dari hasil korupsi; dan uang yang dikorupsi dikembalikan kurang dari 10 persen
Meski tidak semua pasal diatur dalam perma tersebut, optimisme publik harus tetap ada ketika perma diberlakukan. Namun, tentu saja pengawasan harus dilakukan secara maksimal agar implementasinya benar-benar efektif.
“Dengan adanya pedoman pemidanaan ini, hakim tipikor dalam menjatuhkan pidana hendaknya memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan untuk mewujudkan keadilan. Dengan terbitnya pedoman pemidanaan ini pula, diharapkan hakim tipikor dapat menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa,” ungkap Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro Andi, kemarin.
Perbedaan penjatuhan hukuman atau vonis yang signifikan (disparitas) bagi pelaku korupsi masih terus terjadi. Disparitas tersebut bukan hanya berhubungan dengan pidana penjara, melainkan juga mencakup denda, pidana tambahan uang pengganti, pidana tambahan pencabutan hak politik, hingga perampasan aset hasil korupsi.
Sepanjang 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata vonis pidana penjara bagi koruptor hanya dua tahun tujuh bulan. Padahal, korupsi diyakini oleh kita bersama sebagai extra-ordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Andi menandaskan, dengan ada Perma Nomor 1 Tahun 2020, putusan hakim tipikor di semua tingkatan pengadilan dari tingkat pertama hingga MA dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menyangkut Pasal 2 atau Pasal 3 lebih akuntabilitas.
Artinya, pidana yang dijatuhkan itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi keadilan, proporsional, keserasian, dan kemanfaatan. “Terutama bila dikaitkan dengan satu perkara dengan perkara lainnya yang serupa,” ujarnya.
Ketua Muda MA Bidang Pengawasan ini melanjutkan, hakikatnya perma ini digodok hampir dua tahun lamanya oleh kelompok kerja (pokja) sesuai Keputusan Ketua MA Nomor: 189/KMA/SK/IX/2018. Pokja ini bekerja sama dengan Tim Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI). Pokja MA dan Tim MaPPI juga telah melakukan pembahasan dan diskusi dengan instansi penegak hukum lainnya antara lain kejaksaan, KPK, dan kalangan akademisi.
Dia memaparkan, pedoman pemidanaan ini mengatur antara lain mengenai penentuan berat-ringannya hukuman yang akan dijatuhkan sehingga hakim tipikor dalam menetapkan berat-ringannya pidana harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara. Berikutnya, tingkat kesalahan terdakwa, dampak dan keuntungan, rentang penjatuhan pidana, keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, serta yang lainnya. “Untuk jelasnya dalam perma tersebut antara lain dapat dilihat pada Lampiran Perma tentang Tahap III – Pasal 12, Memilih Rentang Penjatuhan Pidana,” ucapnya.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri yang dikonfirmasi menyatakan, jika dilihat secara utuh, sebenarnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak mengatur semua pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor seperti pasal suap-menyuap, pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, serta tindak pidana korupsi lainnya.
Meski begitu, KPK secara kelembagaan tetap menyambut baik pengesahan dan pemberlakuan perma dimaksud.
“Harapannya tentu dengan adanya pedoman pemidanaan tersebut, tidak akan terjadi lagi adanya disparitas dalam putusan tipikor,” kata Ali.
Dia pun mengajak semua pihak, termasuk KPK, membangun sikap optimistis ke depan bahwa Perma Nomor 1 Tahun 2020 akan efektif dan dipatuhi oleh para hakim di semua tingkatkan pengadilan hingga tingkat MA. Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, kata Ali, tentu pedoman tersebut merupakan satu di antara ikhtiar dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini di Indonesia.
“Oleh karena itu, sudah seharusnya parameter penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut dapat diwujudkan dalam pemidanaan oleh para hakim yang menyidangkan perkara tipikor dari hakim tingkat pertama hingga MA,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai, secara pribadi dan sebagai mitra kerja MA, Sahroni menyambut baik penerbitan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tersebut. Pasalnya, aturan ini memberikan tolok ukur yang jelas bagi jumlah dan jenis hukuman yang dijatuhkan kepada seorang terpidana korupsi. Dalam pandangannya, selama ini dalam praktik banyak terjadi disparitas yang mencolok dari satu koruptor dengan koruptor lainnya.
“Karenanya, dengan adanya perma ini, diharapkan adanya kepastian hukuman yang memiliki dasar aturan yang lebih kuat. Tentunya kami (Komisi III) harapkan pedoman tersebut dapat menjadi jawaban bahwa tidak akan ada lagi disparitas hukuman pidana yang begitu jauh bagi koruptor,” tegas Sahroni.
Dia membeberkan optimismenya tidak akan ada disparitas hukuman bagi para pelaku korupsi karena perma tersebut sangat jelas dan detail mengatur sampai jumlah kerugian dan seperti apa hukuman yang dijatuhkan. Perma ini juga menjadi langkah awal yang dilakukan MA dalam memberikan kepastian hukum atau standar tolok ukur bagi seluruh hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi koruptor.
“Tapi, dalam praktiknya, mari kita awasi bersama-sama,” imbuhnya.
Bendahara Umum DPP Partai NasDem ini meminta agar perma tersebut dipatuhi oleh seluruh hakim tingkat pengadilan tipikor pada pengadilan negeri, hakim tinggi pengadilan tinggi, hingga hakim agung MA.
“MA harus menyosialisasikan dan memastikan semua hakim baik di tingkat pengadilan tipikor pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga hakim MA mengetahui dan menjalankan peraturan ini,” tandasnya.(305/snc)