Arak-arakan Sipasan, Tradisi Warga Tionghoa Minang yang Mendunia

tradisi sipasanx
Puluhan anak etnis Tionghoa dan warga lokal mengikuti arak-arakan tradisi Sipasan di Kota Padang, Sumbar. (antara)

PADANG | patrolipost.com – Masyarakat asal Tiongkok (Tionghoa) yang tersebar di seluruh dunia, besok Rabu 29 Januari 2025 merayakan pergantian Tahun Baru China (Imlek). Berdasarkan kalender China tahun 2025 Masehi adalah tahun 2576 Kongzili bertepatan dengan shio tahun Ular Kayu.

Perayaan Cap Go Meh merupakan rangkaian akhir dari berbagai tradisi masyarakat Tionghoa merayakan Imlek. Perayaan Cap Go Meh di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia tak kalah meriah dari perayaan Imlek serta memiliki keunikan karena dicampur-padukan dengan keunikan budaya tempatan.

Bacaan Lainnya

Di Sumatera Barat, khususnya Kota Padang ada tradisi Cap Go Meh yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun yakni Arak-arakan Sipasan. Tradisi ini pada tahun 2013 lalu memecahkan rekor dunia dengan panjang 243 meter berjalan (pawai) sejauh 1,9 meter dari Jembatan Siti Nurbaya hingga Hotel Axana Kota Padang. Moment ini berhasil meraih Guinness World Record.

Dilansir dari Tempo, Carim Valerio, penilai dari museum rekor dunia khusus datang dari London memberikan penghargaan rekor dunia Guinness kepada Feryanto Gani selaku Tuako atau Ketua Hok Tek Tong atau Himpunan Tjinta Teman (HTT) selaku penyelenggara.

Arak-arakan Sipasan HTT Padang berhasil mengalahkan ‘Sipasan’ Kinmen County, Taiwan yang meraih Guinness World Records pada 14 Mei 2013. Arak-arakan Sipasan Taiwan yang membawa 223 anak ini memiliki panjang 168 meter, dipikul oleh 1.440 orang dan diarak selama 3 jam sejauh 1,68 kilometer.

Di buku Dunia Revolusi karya Bambang Purwanto ditulis: Arak-arakan Sipasan merupakan puncak perayaan Festival Cap Go Meh yang hanya dilakukan di Taiwan dan Padang, Sumatera Barat. Arak-arakan ini pertama dilakukan sekira tahun 1863, saat organisasi HTT pertama berdiri di wilayah Padang. Organisasi itu merupakan organisasi kongsi kematian Tionghoa tertua di Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat.

Selain HTT kemeriahan Cap Go Meh juga dilakukan oleh perkumpulan Heng Beng Tong dan Chung Hua Chung Hui. Sempat dilarang pada masa pendudukan Jepang, Arak-arakan Sipasan saat Cap Go Meh kembali dilakukan secara meriah pada tahun 1948.

Saat itu, arak-arakan dilakukan untuk memberikan keceriaan kepada anak-anak di Padang. Arak-arakan Sipasan terdiri dari rangkaian tandu yang disusun dari balok kayu menyerupai binatang sipasan (lipan atau kelabang) dan dipikul bersama-sama orang dewasa. Tandu ditunggangi oleh anak-anak yang menggunakan pakaian daerah atau kostum dewa-dewi.

Meskipun perayaan Cap Go Meh dimiliki suku Tionghoa, Arakan Sipasan justru menjadi lambang keberagamaan di Padang. Dalam tradisi itu seluruh elemen menampilkan ragam budaya nusantara. Adapun etnik tersebut seperti Minangkabau, Mentawai, Nias, Jawa, Batak, dan lainnya.
Lebih lanjut, arakan Sipasan tak lepas dari kedatangan suku Tionghoa di Sumatera Barat. Berdasarkan buku Orang Padang Tionghoa; Dima Bumi Dipijak Disinan Langik Dijunjuang karya Riniwaty Makmur, periodesasi kedatangan orang Tionghoa ke Padang atau Sumatera Barat, dapat dibagi 3 fase yakni, ketika pedagang Cina berlayar ke Nusantara dalam konteks berniaga. Mereka masuk dari sisi timur Pulau Sumatera, Selat Malaka, dan lalu masuk ke pedalaman Minangkabau.

Migrasi kedua adalah, bersamaan dengan kedatangan bangsa Eropa yakni sekitar abad 16. Hal ini masih urusan niaga, dengan magnet Selat Malaka dan Pariaman yang menjadi pusat ekspor komoditi penting zaman itu yakni lada dan emas. Ketiga, migrasi zaman Hindia Belanda, seiring meningkatnya aktivitas ekonomi.

Perantauan orang Tionghoa yang bermuara pada diaspora, membawa serta budaya dan adat mereka. Salah satunya adalah tradisi Imlek dengan memanggungkan dan menjalankan Cap Go Meh.

Cap Go Meh merupakan lafal Tio Ciu dan Hokkian yang artinya malam ke-15. Perayaan ini awalnya dirayakan sebagai hari penghormatan pada Dewa Thai-yi yang dianggap sebagai dewa tertinggi di langit oleh Dinasti Han. Dirayakan pada 15 bulan pertama di setiap tahun menurut penanggalan bulan.

Cap Go Meh juga dikenal sebagai upacara pawai menggotong joli toapekong untuk diarak keluar dari klenteng. Di Indonesia, perayaan Cap Go Meh dimulai pada abad ke-17, ketika ada migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Tujuan diadakannya tradisi ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas berkah dan rejeki yang diberikan sepanjang tahun, sekaligus harapan agar musim berikutnya memperoleh yang lebih baik.

Arakan Sipasan diikuti 9 marga warga Padang keturunan Tionghoa. Arakan tersebut dimulai dari rumah perhimpunan marga masing-masing. Kemudian singgah di Kelenteng See Hin Kiong dan menuju Jalan Batang Arau dekat Jembatan Siti Nurbaya. Biasanya, perayaan ini melahap jalanan sepanjang 3,8 kilometer dengan rute melewati simpang Muara Lasak, Nipah, dan depan Masjid Al Hakim. Lebih lanjut, Festival Cap Go Meh merupakan satu-satunya agenda tradisi budaya Tionghoa yang masuk menjadi salah satu even pariwisata Provinsi Sumbar.

Hingga kini tradisi Sipasan masih dilestarikan etnis Tionghoa yang tergabung dalam komunitas Himpunan Bersatu Teguh (HBT) Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar).

“Selain dalam rangkaian memperingati HUT HBT dan perayaan pergantian tahun Masehi, tradisi Sipasan ini juga untuk melestarikan tradisi leluhur kepada generasi muda,” kata Wakil Ketua I HBT Cabang Pekanbaru Harry Suwandi, dikutip dari Antara.

Harry menjelaskan tradisi Sipasan sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan terus dipelihara oleh masyarakat etnis Tionghoa khususnya di Kota Padang. Setiap penyelenggaraannya, keturunan China dari berbagai kota sengaja datang untuk memeriahkannya.

Salah satu makna yang terkandung dalam budaya tersebut ialah sikap toleransi dan kerja sama sesama masyarakat di Sumbar yang sangat beragam. Sebab, tradisi itu tidak hanya diikuti warga Tionghoa namun juga warga etnis Minangkabau.

“Tradisi etnis Tionghoa ini sudah kita jaga turun-temurun,” ujarnya.

Dalam tradisi tersebut pengurus HBT mengarak anak-anak usia tiga hingga 10 tahun menggunakan tunggangan yang terbuat dari kayu, dan dihiasi pernak-pernik khas etnis China. Pada arak-arakan tersebut pengurus HBT juga menampilkan barongsai berwarna merah dan putih diiringi musik-musik khas China. Tradisi Arak-arakan Sipasan ini menjadi salah satu kekayaan budaya Tanah Air yang patut dilestarikan, tidak saja oleh etnis Tionghoa, tapi oleh seluruh Masyarakat Indonesia. (807)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *