DENPASAR | patrolipost.com – Film biopik BUYA HAMKA tertunda penayangannya disebabkan oleh pandemi. Mulanya, sajian drama besutan Fajar Bustomi itu dijadwalkan edar di seluruh bioskop Indonesia pada tahun 2020. Tetapi tampaknya Falcon Pictures dan Starvision selaku dua rumah produksi besar yang menggarap akan merilis pada tahun 2022.
Hal itu tampak dari diterbitkannya novel berjudul Buya Hamka karya penulis kenamaan A. Fuadi. Novel yang diterbitkan oleh Falcon Publishing ini tidak sama persis dengan filmnya. Namun bisa menjadi buku yang mendampingi jika nanti ingin menonton filmnya.
“Cerita dalam novel ini merupakan pengembangan dari film. Ketika menonton nanti akan saling melengkapi,” kata A. Fuadi, saat virtual conference beberapa waktu lalu.
Fuadi melakukan riset khusus demi menulis novel Buya Hamka ini. Dia mengaku cukup kesulitan karena saking banyaknya sumber sampai bingung mencari hal baru untuk dipaparkan.
“Tantangan waktu nulis ini bukan kekurangan bahan, tapi kebanjiran bahan karena beliau aktif menulis. Beliau menulis 100 buku dan ada buku otobiografi juga. Sementara saya harus menceritakan tokoh ini dengan cara baru. Karena kebingungan, akhirnya saya pilih yang menarik, yang paling dramatis dari segala cerita, tentu dengan selera saya,” tuturnya.
Fakta bahwa buku dengan filmnya saling melengkapi juga disampaikan oleh Fajar Bustomi selaku sutradara. Ia berkata bila ada hal belum detail di film, akan terjelaskan dengan membaca novelnya.
“Sebelum nonton baca bukunya dulu. Karena periode yang saya gambarkan dari dia (Buya) baru lahir sampai diangkat jadi ketua MUI. Karena terbatas durasi, mungkin ada hal yang nggak bisa saya angkat di film. Nanti akan lebih detail dengan membaca,” ujar Fajar pada kesempatan yang sama.
Selain novel Buya Hamka, Falcon Publishing juga menerbitkan novel Komsi Komsa. Novel karya E.S. Ito ini cukup segar karena menggabungkan unsur sejarah dengan tema detektif yang tergolong unik di industri literasi Indonesia.
“Komsi Komsa ini novel ketiga saya. Usaha ketiga saya karena sejarah kerap dianggap membosankan. Mungkin ini genre yang saya sukai, saya punya ketertarikan terhadap cerita sejarah dan detektif. Kenapa menggambil latar tahun 1950-an, karena itu adalah masa yang saya sukai,” jelas E.S. Ito.(rls/net)