DENPASAR | patrolipost.com – Prabu Capung Mas akan gelar kegiatan bedah buku yang ditulis oleh Dr I Made Pria Dharsana SH, MHum. Buku yang berjudul “Populisme Menghancurkan Demokrasi” diterbitkan oleh Penerbit Serat Ismaya ini berisi realitas politik, sehingga senantiasa menjadi topik panas yang selalu menarik untuk dikuliti.
Acara launching dan bedah buku ini akan menghadirkan Dr I Dewa Gede Palguna SH M Hum yang akan menyampaikan sekapur sirih, Drs Putu Suasta, MA dan Dr Putu Tuni Sakabawa Landra, SH MHum sebagai penimbang. Buku “Populisme Menghancurkan Demokrasi” diluncurkan di rumah jabatan Gubernur Bali, Jaya Sabha Denpasar, Jumat (20/12 2019) pukul 18.00 Wita.
Penulis buku “Populisme Menghancurkan Demokrasi” I Made Pria Dharsana mengatakan, tidak hanya terbatas dalam forum – forum akademis formal ataupun sekadar menjadi isu yang diperdebatkan oleh pengamat – pengamat ahli di berbagai media, politik kini telah merambah luas menjadi santapan publik, kapanpun dan dimanapun. Tak heran, isu yang satu ini kerapkali memadati ruang diskursus dengan jangkauan ke segala aspek kehidupan.
Dinamika senantiasa hadir dalam berbagai komponen masyarakat kita dan realitas politik pun semakin menarik. Sebab, di dalamnya pula terdapat relasi kuasa, perebutan sumber daya strategis, perseteruan berbagai aktor, dan lain sebagainya, yang kesemuanya masing-masing membawa misi dan kepentingannya.
“Dari berbagai dinamika ini kemudian lahirlah buku ini. Sebagai upaya merekam berbagai geliat perpolitikan, permasalahan hukum, dan sosial di tanah air, terkhusus dalam rentang kisaran waktu 2009 hingga sebelum buku ini diterbitkan pada April 2019 lalu,” kata Pria Dharsana.
Dia menerangkan, buku yang merupakan ikhtiar dalam rangka menjahit berbagai peristiwa politik, hukum dan sosio kemasyarakatan tanah air yang sarat makna. Peristiwa-peristiwa penting tersebut teramat perlu ditulis dan didokumentasikan agar tak hanya usai dalam mimbar-mimbar diskusi dengan durasi waktu yang amat terbatas.
“Ada banyak hal yang saya ulas dalam buku ini dalam berbagai geliat masyarakat Indonesia dimana kecenderungan perpolitikan tanah air yang menggunakan pola-pola populis sepaket dengan politik identitasnya, sebagai bahan bakar utama meraup dukungan massa dalam perhelatan pesta demokrasi atau pemilu,” terangnya.
Ia menambahkan buku ini memuat apa yang disebut sebagai kegelisahan anak bangsa yang ikhtiar menjaga NKRI. Menjadi lentera sekaligus respon dari fenomena terhadap fakta hukum, politik, dan demokrasi di tengah kondisi sosial masyarakat di Republik Indonesia yang bergolak di tahun politik.
“Buku ini mencoba menggambarkan kegalauan saya sebagai penulis menyaksikan arus perkembangan politik Indonesia yang menghasilkan produk-produk hukum, seperti produk hukum pertanahan, investasi yang kurang mencerminkan peningkatan kualitas para politisi yang dapat tercermin dari produk perundang-undangannya. Penyelenggaraan demokrasi secara formal prosedural dapat digolongkan lancar dan damai, tapi kondisi politik di Indonesia bisa dibilang belum mapan,” ungkapnya.
Ia menilai masih terbuka ruang perdebatan yang luas diantara para ahli untuk mendefinisikan makna populisme. Populisme dianggap sebagai sebuah ideologi dimana tak hanya menempatkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kepentingan rakyat di atas segala-galanya, tetapi juga menganggap bahwa nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kepentingan itu telah dicederai oleh para elit dan organisasi porpol.
“Banyak tokoh parpol menganggap populisme gaya politikus baru sekarang ini justru malah menghambat kaderisasi bahkan bisa dianggap menggerogoti sendi-sendi demokrasi yang sudah dibangun oleh parpol,” ujarnya.
Ia menuturkan politisasi atau politik yang dikembangkan oleh para politisi melalui partai politik di dalam membangun demokrasi di Indonesia dengan politik identitas yang berlebihan.
“Fakta di dalam masyarakat mulai dari pilpres bulan pilkada DKI 2017 dan di pilpres pemilu 2019 sangat keras polarisasi yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga mengikat apa yang harus dipertaruhkan di dalam perhelatan politik selama 5 tahun rentan politik identitas yang dibungkus dalam populisme,” pungkasnya. (cr02)