BORONG | patrolipost.com – Mantan Bupati Manggarai Timur (Matim) sekaligus Calon Bupati Matim 2024-2029, Andreas Agas menjelaskan tentang filosofi kehidupan masyarakat Manggarai terutama dalam penyelenggaraan upacara besar nan sakral, Congko Lokap.
Hal ini dijelaskan Andreas Agas saat menghadiri upacara Congko lokap gendang Leong, kecamatan Lambaleda Selatan, Manggarai Timur, Rabu (7/8/2024).
Kepada patrolipost.com, calon Bupati Manggarai Timur dari Paket Akur tersebut mengungkapkan kehidupan orang Manggarai terdiri dari 5 hal pokok.
“Kehidupan orang Manggarai terdiri dari 5 sisi yakni mbaru bate kaeng (rumah), uma bate duat (kebun, ladang dan sawah), wae bate teku (mata air), natas bate labar (halaman tempat bermain) dan compang bate takung (mesbah untuk leluhur),” ungkapnya.
Menurut Andreas, mbaru gendang atau rumah adat pada sebuah kampung merupakan tempat pemulihan hubungan di antara warga kampung.
“Mbaru gendang merupakan tempat ‘caca mbolot’. Segala permasalahan yang terjadi di antara warga kampung bisa diselesaikan di rumah gendang. Oleh karena itu, rumah gendang merupakan sebuah simbol persatuan,” lanjutnya.
Menurut Andreas yang maju kembali dalam Pilkada Matim 2024, istilah ‘Congko Lokap’ merupakan sebuah kiasan. Congko Lokap dalam arti sempit berarti membersihkan sisa material, potongan kayu dan lain sebagainya karena pengerjaan rumah gendang sudah selesai.
“Makna sesungguhnya dari Congko Lokap adalah membersihkan hati dan pikiran kita. Mungkin pada waktu pengerjaan rumah adat ada perbedaan ide dan pendapat yang berpotensi mengganggu keharmonisan kehidupan warga di kampung ini. Dengan terselenggaranya acara Congko Lokap, maka segala perbedaan pendapat dihilangkan dan semuanya kembali bersatu,” paparnya.
“Oleh karena itu, dengan acara Congko Lokap, maka segala iri, benci dan dengki sudah tidak ada lagi. Warga kampung pun diharapkan hidup dengan penuh kedamaian dalam bingkai persatuan,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Andreas Agas menjelaskan bahwa kerbau merupakan hewan yang disakralkan dalam adat Manggarai dan menjadi hewan kurban tertinggi kepada Tuhan yang Maha Esa dan para leluhur.
“Acara adat seperti ini sebagai bentuk menyucikan diri. Dengan menyucikan diri, hubungan kita dengan Tuhan dan leluhur pun bisa dipulihkan. Begitu pun hubungan dengan sesama dan alam semesta, semuanya bisa dipulihkan dalam acara adat,” tutupnya. (pp04)