BANGLI | patrolipost.com – Pandemi Covid-19 dampaknya sangat dirasakan sekali oleh kalangan pengrajin di Bangli. Banyak pengerajin tidak bisa beraktifitas karena permintaan produk kerajinan menurun. Kondisi ini juga dirasakan pengerajin tedung agung.
Salah seorang pengerajin tedung Agung, Ketut Sukirman mengatakan pandemi Covid-19 yang dibarengi dengan kebijakan pemerintah melakukan pembatasan kaitannya untuk kegiatan upacara keagamaan berdampak pada sepinya permintaan tedung agung.
”Menginjak pertengan bulan Maret pesanan tedung mulai sepi, bahkan dari dua bulan kemarin pesanan tidak ada,” ujarnya, Rabu (22/7/2020).
Lanjut pria asal Lingkungan Sidembunut, Kelurahan Cempaga Bangli ini dalam kondisi normal, selalu saja ada pesanan tedung agung bahkan ramainya pesanan mendekati rahinan tumpek Landep.
”Kalau menjelang tumpek landep pesanan bisa sampai 5 pasang tedung agung sementara pada rahinan tumpek landep minggu kemarin hanya mendapat order 1 pasang tedung agung saja,” jelas pegawai di Sekretariat DPRD Bangli ini.
Kata Ketut Sukirman untuk produk tedung yang dibuat baik dari segi kwalitas dan penggrapan jauh beda dengan tedung pada umumnya. Untuk tedung agung bikinanya menggunakan bahan berkwalitas, seperti tangkai tedung menggunakan kayu pilihan begitu pula untuk kain serta benang yang digunakan beda jauh dengan tedung kodian.
”Biasanya tedung agung digunakan untuk bayar sesangi (kaul) atau dihaturkan di pura- pura, mereka yang memesan ada yang berasal dari luar daerah yakni dari Klungkung dan Gianyar serta Denpasar, ” sebut pria yang mengaku sudah menggeluti usaha tedung sejak dua puluh tahun.
Disinggung masalah harga untuk satu pasang tedung agung, kata Ketut Sukirman untuk tedung agung berdiameter 50-60 cm harganya sekitar Rp 2,8 juta per pasangnya.
“Untuk mengerjakan satu pasang tedung agung membutuhkan waktu sekitar dua minggu,” sebutnya .
Selain menjual tedung agung, pihaknya juga mulai mencoba membuat perlengkapan sarana upakar seperti lamak dan inder- ider. Harga ider- ider berbahan kain beludru dibandrol dengan harga Rp125 ribu per meternya, sedangkan untuk lamak Rp100 ribu per biji.
Sementara disinggung terkait kendala, pihaknya hanya terkendala pada pemasaran produk dan bahan baku.
”Jika tidak ada pesanan kami praktis tidak bekerja, begitupula untuk bahan baku seperti kain dan benang kami membeli di Gianyar dan kadang di Denpasar, untuk itu kami berharap pemerintah bisa memfasilitasi masalah pemasaran,” ujar Ketut Sukirman. (750)