LABUAN BAJO | patrolipost.com – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Agustinus Cabang Ruteng bersama PMKRI Kota Jajakan Labuan Bajo dan sejumlah warga Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Manggarai Barat, Rabu (2/02/2022).
Aksi unjuk rasa menolak pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga Panas Bumi atau Geothermal ini berlangsung ricuh saat masa demonstran merobohkan gerbang masuk halaman kantor bupati Manggarai Barat setelah tidak diberikan akses masuk ke dalam area kantor Bupati Mabar yang dijaga ketat oleh puluhan personel Polres Manggarai Barat dan Satuan Polisi Pamong Praja. Aksi unjuk rasa ini juga menyebabkan aksi saling dorong antara mahasiswa dan petugas keamanan yang menyebabkan sejumlah mahasiswa dan petugas mengalami luka luka.
Berlangsung ricuh, perwakilan mahasiswa dan sejumlah masyarakat pun diizinkan masuk untuk melakukan audiensi bersama Wakil Bupati Manggarai Barat, Yulianus Weng serta didampingi oleh Sekda Kabupaten Manggarai Barat, Fransiskus S Sodo, Wakapolres Manggarai Barat Kompol Eliana Papote dan sejumlah staf ahli Bupati Manggarai Barat.
Dalam audiensi, Ketua PMKRI Cabang Ruteng, Nardi Nandeng menyampaikan alasan terkait penolakan proyek Geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang yang akan dibangun PT GEO Dipa Energi (GDE) tersebut dapat mengganggu ruang lingkup hidup masyarakat, dimana ruang lingkup tersebut merupakan sebuah komponen yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Diantaranya titik pengeboran yang berada tidak jauh dari area pemukiman warga yang dapat merusak sumber mata air, lahan pertanian dan perkebunan, fasilitas publik seperti sekolah, dan gereja yang tentu saja membawa ancaman besar bagi warga.
“Kami menolak Geothermal yang ada di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, kami menolak keras dengan berbagai alasan tertentu, karena proyek ini akan mengganggu ruang lingkup hidup masyarakat. Jadi ruang lingkup hidup adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sehingga kami datang untuk menyuarakan penolakan ini,” ujar Nardi.
Sementara itu, menurut Koordinator Germas PMKRI Ruteng, Yohanes Christopher Yarkefbi penolakan ini juga didasari pada salah satu contoh proyek Geothermal di Pulau Flores yakni Geothermal Mataloko di Kabupaten Ngada yang dianggap gagal.
Menurut Yohanes, proyek Geothermal Wae Sano dikhawatirkan akan berakhir buruk seperti Geothermal Mataloko yang tentu di awal pembangunannya telah melalui kajian dan riset dari para ahli namun memberikan dampak buruk bagi warga masyarakat. Mulai dari kondisi kehidupan masyarakat yang memperihatinkan hingga sampai kepada sektor pertanian dan perkebunan yang tidak berkembang dengan baik.
“Jangan sampai geothermal yang di Wae Sano juga akan seperti yang di Mataloko, itu yang kami khawatirkan,” ujarnya.
Sementara itu, Fransiskus Napang, salah seorang warga Wa Sano yang ikut dalam audiensi menyampaikan sebanyak 147 warga Desa Wae Sano menolak pembangunan Geothermal karena akan berdampak buruk bagi warga.
“Kehadiran Geothermal itu sangat dekat dengan pemukiman warga, pekuburan, rumah ibadah, kantor desa, SD, SMP. Di Dusun Lempe juga begitu, hanya berjarak 150 meter dari pemukiman warga, kemudian di titik mata air yang hanya 30 meter dari rumah saya, kehadiran Geothermal ini mengganggu ruang hidup kami, Mbaru Bate Ka’eng (rumah tinggal), Natas Labar (halaman bermain) , Golo Lonto (Kampung Halaman) terus Uma Duat (kebun),” ujarnya.
Sikap Uskup Dikecam
Fransiskus juga menyayangkan sikap Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat yang lebih memihak pada kepentingan korporasi dibanding kepentingan umatnya. Menurutnya, rekomendasi Uskup Siprianus yang menyatakan bahwa titik pengeboran yang berada di Dusun Lempe aman untuk ditindaklanjuti tidak berangkat dari hasil musyawarah bersama warga yang terdampak.
“Kami masyarakat Lempe yang akhir – akhir ini mendapatkan rekomendasi dari Bapa Uskup bahwa titik Lempe aman, itu tidak benar. Jadi rekomendasi Bapa Uskup ini sepihak, tidak menemui kami warga yang terkena dampak, dia langsung keluarkan surat rekomendasi,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sikap Uskup Siprianus menimbulkan kemarahan warga. Pasalnya, Uskup Siprianus awalnya menyatakan dukungan pada penolakan warga akan kehadiran Geothermal tersebut. Namun kemudian berubah mendukung pembangunan proyek Geothermal Wae Sano.
“Pertamanya dia sangat menolak keras ini geothermal, setelah di lantik menjadi uskup. Dia langsung datang ke titik – titik geothermal di Nunang dan dia katakan ini tidak benar, dekat dengan rumah warga, harus kita tolak. Namun dengan mulut yang sama Dia keluarkan rekomendasi melanjutkan geothermal itu. Maka dengan ini kami menyatakan menolak Geothermal apapun yang terjadi.” jelasnya.
Sementara itu, Sekertaris Daerah Kabupaten Manggarai Barat, Fransiskus S Sodo menyampaikan bahwa Proyek Geothermal tidak memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan, tapi sebaliknya.
“Kami juga sudah pernah melihat proyek yang sama di PLTP Patuha di kawasan Gunung Patuha, Kabupaten Bandung, itu luar biasa sekali. Di situ ada objek wisatanya, di situ ada perkebunan tehnya, dan sangat membantu tidak merusak lingkungan. Pada saat eksploitasi untuk titik pengeboran dia hanya butuh ruang 2×3 meter saja, selebihnya sama sekali tidak mengganggu lingkungan,” tuturnya.
Fransiskus menjelaskan hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat terus berupaya membuka ruang diskusi bersama warga penolak termasuk upaya memberikan referensi dampak positif dari pembangunan Proyek Geothermal Wae Sano.
“Yang pasti tadi saya sampaikan ini bukan menolak dan menerima tapi dalam konteks perbedaan pikiran. Nah, perbedaan pikiran itu kan hanya soal referensi, hanya soal keyakinan, nah ruang ini yang kami pakai untuk berdiskusi dengan mereka sampai titik temu itu ada,” ujar Fransiskus.
Fransiskus berharap, pembangunan Geothermal mendapatkan dukungan dari semua pihak sehingga turut membantu upaya pemerintah pusat dalam mensejahterakan masyarakat.
“Kita berharap (dukungan) seratus persen yah, jangan sampai menggagalkan upaya pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Kalau pemerintah merasa yakin dan masyarakat sebagian besar menerima dengan pertimbangan teknis substansi yang masuk akal, yah kenapa tidak,” ujar Fransiskus.
Dalam Audiensi ini, PMKRI Cabang Ruteng, bersama PMKRI Kota Jajakan Labuan Bajo dan sejumlah Warga Wae Sano memberikan tiga tuntutan kepada pemerintah:
[1] Mendesak Menteri ESDM melalui Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk hentikan seluruh proses ekstraksi panas bumi Wae Sano, juga WKP lain di Flores dan cabut seluruh izin panas bumi yang telah dikeluarkan.
[2] Mendesak Bank Dunia agar batalkan segera kerja sama dan pemberian dana hibah kepada PT SMI (juga PT GeoDipa Energi), termasuk hentikan seluruh proses di lapangan dalam memuluskan rencana penambangan panas bumi di Wae Sano.
[3] Mendesak Kantor Staf Presiden (KSP) agar berhenti terlibat dalam urusan panas bumi di Wae Sano. (334)