MAUMERE | patrolipost.com – Destinasi wisata berbasis alam, bahari dan budaya tidak hanya terdapat di Labuan Bajo saja. Beberapa daerah di Pulau Flores pun memiliki tujuan wisata yang tidak kalah eksotis dibanding Labuan Bajo atau Manggarai Barat, salah satunya destinasi wisata di Kabupaten Sikka.
Di kabupaten ini, berbagai destinasi seperti alam, bahari, religi maupun budaya sering dikunjungi wisatawan lokal, nusantara, maupun mancanegara. Misalnya, wisata Kolam Air Panas Blidit di Desa Egon, Pantai Koka di Desa Wolowiro, Pusat Kerajinan Tenun di Desa Uma Uta, Gereja Tua Sikka di Kampung Sikka, dan masih banyak lagi destinasi yang menarik untuk dikunjungi.
Namun, sistem pengelolaan hampir di semua destinasi wisata itu belum optimal dikembangkan. Berbagai kendala seperti kualitas SDM, kurangnya kolaborasi diantara stakeholder hingga kurangnya keterlibatan masyarakat, membuat destinasi-destinasi wisata ini belum mampu menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung.
Berbagai kendala ini disampaikan dalam kegiatan pelatihan ‘Training of Trainers’ (TOT) Tata Kelola Destinasi Pariwisata yang difasilitasi oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) bagi Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Cabang Sikka, Jumat (9/4/2021).
“Melihat potensi yang ada di Kabupaten Sikka, ada beberapa desa yang bisa dikembangkan menjadi desa wisata. Salah satu contohnya di Desa Uma Uta. Di sana pusat kerajinan tenun ikat, cuma selama ini tamu datang hanya untuk melihat pentas tarian dan membeli tenun, setelah itu pergi. Tapi tidak diperkenalkan cara pembuatan tenun tersebut,” ujar Yohanes Yanianus Japi, salah seorang peserta pelatihan.
Yohanes menjelaskan, untuk mewujudkan sebuah desa wisata yang berkualitas, sebuah desa wisata harus memiliki sesuatu yang mampu menarik perhatian wisatawan untuk menghabiskan waktu kunjungannya lebih lama pada suatu destinasi wisata.
“Ciri desa wisata itu yakni terdapat sesuatu yang unik dan mampu melibatkan masyarakat. Kita ingin di Uma Uta itu, dibuat sesuatu yang membuat menarik dan ingin wisatawan berlama lama-lama di situ. Wisatawan bisa diajak ke hutan, mencari bahan-bahan pewarna alami yang nanti akan digunakan terus memprosesnya sampai menghasilkan sebuah kain. Sebenarnya ini merupakan salah satu potensi daya tarik. Dan kita mengajak wisatawan untuk belajar soal itu. Otomatis, masa tinggal atau kunjungannya juga bisa lebih lama,” papar Yohanes.
Ini juga salah satu cara meningkatkan angka lama kunjungan wisatawan di Kabupaten Sikka yang menurut data Travel Tourism Competitiveness Index (TTCI) tahun 2020 yang disampaikan Dirut BPOLBF Shana Fatina, lama tinggal wisatawan di Sikka ini hanya 2 hari.
“Terima kasih untuk BPOLBF karena sangat mendukung salah satu program kerja kami karena selama ini kami kesulitan kepada siapa dan bagaimana untuk mewujudkan program-program kami,” lanjutnya.
Tidak hanya Yohanes, peserta lainnya, Vinsentius Sales mengungkapkan, dari jumlah 26 desa wisata yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sikka, hampir semua desa belum memiliki kriteria yang sesuai standar untuk menjadi sebuah desa wisata.
“Kriteria-kriteria yang disampaikan oleh Pak Nyoman selaku narasumber itu sangat komplet dan kalau kita lihat di desa wisata kita yang ada ini, itu ternyata masih sangat jauh dari standar kriteria itu. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk membentuk sebuah desa wisata. Kemudian soal desa wisata harus dipastikan keberlanjutannya, masyarakatnya diberdayakan. Saya rasa itu bisa membuat anak muda untuk tidak merantau ke Kalimantan untuk bekerja di kelapa sawit, karena di desa kita ini banyak potensi yang bisa di kembangkan,” tutur Vinsentius.
Hal ini disampaikan Vinsentius didasarkan pada begitu banyaknya gapura desa yang bertuliskan desa wisata, namun saat dikunjungi wisatawan tidak tersedianya sesuatu yang menarik perhatian wisatawan. Selain itu, pembentukan sebuah desa wisata juga harus melibatkan semua komponen yang ada, baik Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, Bumdes, Pokdarwis, hingga warga masyarakat.
“Pelatihan ini sangat penting dan saya merasa menyesal karena stakeholders dalam hal ini dinas-dinas terkait, camat, kepala desa, mereka tidak ikut. Kalau mereka tau materi ini pasti mereka juga akan terbuka, terkait tahapan proses menuju pembentukan desa wisata itu sendiri, ” ujarnya.
Baik Yohanes maupun Vinsentius serta semua anggota HPI Sikka melalui pelatihan ini memiliki komitmen untuk menjadi influencer bagi warga masyarakat untuk memulai mengembangkan setiap potensi yang ada di desa. Materi pelatihan dari para narasumber dinilai mampu memberikan motivasi dan memahami langkah-langkah yang harus dilakukan guna mewujudkan desa wisata unggulan yang dikelola oleh sumber saya manusia yang kompeten, inovatif dan profesional.
“Pelatihannya sangat lengkap, tentang desa wisata, sumber daya, cara pemasaran, promosi, cara mengelola, dan juga soal CHSE. Kita juga mendorong untuk sesegera mugkin mendapatkan sertifikasi CHSE, agar wisatawan yakin dan nyaman saat ke sini,” ujar Arkadius Jong, Ketua HPI Sikka.
“Menyangkut materi CHSE sangat bagus dan sebagai pelaku pariwisata dalam hal pencegahan penyebaran Covid-19 kita harus divaksin. Berikutnya menyangkut sarana transportasi dan tempat kerja menjamin Protokol Kesehatan. Kalau tidak maka hal ini akan menghambat kedatangan wisatawan. Akhirnya wisatawan tidak jadi dating,” sambung Vinsentius.
Sementara Dr I Mangku Nyoman Kandia MAG, Anggota DPP HPI yang juga merupakan narasumber dalam pelatihan ini berharap anggota HPI Sikka mampu menularkan pengetahuan yang didapat kepada warga masyarakat agar kelak mampu mengolah desa wisata yang dimiliki. Selain itu dengan sumber daya yang kompeten mampu mengembangkan setiap potensi yang dimiliki hingga mampu mewujudkan desa wisata yang unik dan berbasis komunitas masyarakat.
“Sikka itu unik, budayanya unik, manusianya unik. Seharusnya potensi itu bisa melebihi Bali. Kunci desa wisata itu ada dua, keunikan dan partisipasi masyarakat lokal. Minimal mereka menjadi the agent of change, dia melakukan sesuatu perubahan, stop menyalahkan biarkan mereka melakukan sesuatu,” pinta Nyoman Kandia.
“Minimal mereka membina desa-desa secara tulus dan mencintai desa. Harapan saya mereka mengerti berapa pentingnya desa itu. Karena kita lahir di desa, bahan makan dari desa, udara segar di desa, buah-buahan dari desa, terus kenapa kita harus tinggalkan desa? HPI dengan pengalaman international bisa kembali ke desa, minimal mereka bisa buat homestay di rumahnya sendiri dengan toilet yang baik. Jangan cuma guiding tapi juga peduli. Sense of Belonging harus ada, rasa memiliki. Juga harus berkolaborasi dengan berbagai unsur Pentahelix,” ucap Ketua BUMDes Bersama Gianyar Aman tersebut. (334)