SINGARAJA | patrolipost.com – Hari-hari pasca Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak direncanakan menjadi lokasi bandar udara (bandara) setelah rencana semula di Desa/Kecamatan Kubutambahan diduga batal, warga setempat diliputi kecemasan. Tidak hanya itu, sebagian warga terlihat ‘paranoid’ dengan pihak yang terlihat asing tengah beraktivitas di desa itu.
Setelah sebelumnya warga mengusir orang yang mengaku tim survei bandara, Jumat (16/10/2020) kembali warga mengusir sejumlah orang yang akan melakukan pengambilan foto udara menggunakan drone. Mereka melakukan aktivitas di perbatasan Banjar Dinas Sumberklampok dengan Banjar Dinas Sumber Batok.
I Putu Artana selaku ketua Tim Sembilan untuk penyelesaian tanah Desa Sumberklampok membenarkan ia bersama warga dan Kepala Desa/Perbekel, telah mengusir orang yang tengah beraktivitas melakukan pemotretan udara menggunakan drone.
“Kami bersama perbekel Desa Sumberklampok mendatangi mereka dan menanyakan legalitasnya melakukan kegiatan. Karena tak bisa menunjukkan surat-surat dimaksud mereka kami persilakan meninggalkan lokasi,” kata Artana, Jumat (16/10/2020).
Artana menyebut, mereka awalnya mengaku petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, saat diminta menunjukkan surat tugas dan legalitas lainnya mereka tidak memiliki. Bahkan surat izin untuk melakukan kegiatan ditujukan untuk desa camat dan kepolisian tidak mereka kantongi.
“Kami langsung minta mereka pergi sembari diingatkan untuk tidak menerbangkan drone di Desa Sumberklampok dengan dalih apapun, termasuk alasan pengukuran untuk kepentingan Bandara Bali Utara,” tegas Artana.
Menurut Artana, rencana membangun bandara di lahan Desa Sumberklampok tidak didahului proses dan prosedur yang benar terutama tidak diawali sosialisasi kepada warga.
“Jelas cara ini seakan mengabaikan keberadaan warga di sini (Sumberklampok, red),” ucapnya.
Sementara Perbekel Desa Sumberklampok I Wayan Sawitra Yasa juga membenarkan pihaknya telah melakukan pengusiran terhadap pihak yang melakukan kegiatan ilegal di desanya.
“Sejak berhembus kabar rencana pembangunan Bandara Bali Utara di Desa Sumberklampok ada pihak yang melakukan pengambilan foto udara di lahan warga dan sudah kami minta pergi,” ujar Sawitra Yasa.
Sawitra menyebut rencana pembangunan Bandara Bali Utara di Desa Sumberklampok tak pernah ada sosialisasi dari pemerintah kepada warga. Kondisi itu membuat warga marah dan gelisah hingga resah.
Terlebih saat ini, kata Sawitra Yasa, warga desanya tengah berjuang atas lahan eks HGU PT Margarana seluas sekitar 600 hektar agar menjadi hak milik karena sudah dikelola puluhan tahun dan turun-temurun.
Apalagi lahan di Desa Sumberklampok sudah dalam agenda penyelesaian program nasional reforma agraria selaras dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
“Kami meminta kasus tanahnya diselesaikan terlebih dahulu. Jangan dicampur adukkan dengan rencana pembangunan bandara. Kasus lahan mestinya diselesaikan dahulu oleh pemerintah Provinsi Bali dan pusat,” jelasnya.
Sawitra menyebut tidak ada kajian jelas soal rencana pembangunan Bandara Bali Utara, terlebih informasi soal bandara diketahui saat dia bersama tokoh masyarakat dan tim 9 penyelesaian lahan Sumberklampok dipanggil Gubenur Bali Wayan Koster, Selasa (13/10/2020) lalu.
“Soal Bandara Bali Utara di Sumberklampok sangat tidak mungkin. Mengingat Desa Sumberklampok sebagai kawasan penyangga hutan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Karena dampaknya jelas pembangunan bandara mempengaruhi ekosistem di TNBB,” imbuhnya.
Sawitra menyebut, Gubenur Bali telah mengklaim tanah yang ditempati warga merupakan aset Provinsi Bali. Menurut Sawitra, hal itu tidak benar.
“Kami bersama tim 9 penyelesaian lahan pernah menelusuri statusnya ke BPN Pusat. Apakah benar aset Provinsi Bali atau bukan. Ternyata di BPN Pusat tercatat, tanah Sumberklampok adalah tanah negara eks HGU. Dengan status tanah negara bebas,” ungkapnya.
Sawitra menantang, Pemprov Bali untuk menunjukkan HPL atau HGU atau ada dasar sertifikat (pipil) atau surat bukti lainnya.
“Hingga sekarang pemerintah provinsi tidak bisa menunjukkan dan justru Pemprov Bali berstatus pemohon ke BPN pusat sama dengan warga untuk menjadi aset mereka. Artinya antara masyarakat dan pemerintah Provinsi Bali sama-sama berstatus pemohon atas tanah tersebut,” ujarnya.
Sedang soal bandara, Sawitra mengaku dengan tegas menolaknya karena masih fokus pada penyelesaian lahan.
“Soal bandara kami tegas tolak. Masyarakat kami masih fokus pada penyelesaian lahan. Bukan soal bandara,” tandasnya. (625)