SINGARAJA | patrolipost.com – Soal Wolbachia belakangan menjadi perbincangan yang memicu polemik di tengah masyarakat hingga menimbulkan kontroversi. Muncul pro kontra soal Wolbachia yang dianggap rekayasa genetik yang berbahaya bagi keberlangsungan kesehatan manusia. Sementara pihak lain menganggap Wolbachia merupakan senjata ampuh untuk melumpuhkan virus demam berdarah melalui nyamuk Aedes aegypti.
Hal itu kemudian memicu penolakan terhadap rencana Pemkab Buleleng melalui Dinas Kesehatan Buleleng menyebarkan jenis nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di Kabupaten Buleleng, terutama di daerah tertentu.
Kepala Dinas Kesehatan Buleleng dr Sucipto membantah pihaknya dalam waktu dekat ini akan menyebarkan nyamuk ber-Wolbhacia seperti informasi yang tengah berkembang saat ini. Pasalnya, Dinas Kesehatan Buleleng masih akan melakukan kajian terkait rencana penyebaran jenis nyamuk tersebut.
“Soal akan menyebarkan (nyamuk ber-Wolbachia, red) kami pastikan belum ada. Masyarakat tidak perlu resah karena hal itu masih dalam kajian,” kata dr Sucipto, Kamis (16/11/2023).
Menurut dr Sucipto soal implementasi Wolbachia merupakan bakteri sangat umum yang ditemukan pada serangga seperti lalat buah, kupu-kupu dan ngengat. Namun bakteri tersebut tidak ditemukan pada nyamuk Aedes aegypti. Selama ribuan tahun bakteri Wolbachia hidup berdampingan dengan lingkungan manusia, namun tidak ada bukti gigitan serangga yang mengandung Wolbachia berbahaya buat manusia.
“Berdasar kajian itu Wolbachia aman bagi manusia, lingkungan atau hewan,” imbuh dr Sucipto.
Ditambahkan, nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbhacia World Mousquito Program (WMP) bukan rekayasa genetik (RMO) karena tidak melibatkan modifikasi genetik pada nyamuk atau bakteri alami Wolbachia atau bukan nyamuk hasil kehebatan teknolog artificial intelligence (AI).
”Nyamuk Wolbhacia sama dengan nyamuk pada umumnya, baik dari segi bentuk, ukuran ataupun warna. Hanya tidak bisa menularkan virus dengue (demam berdara) ke manusia,” jelas dr Sucipto.
Wolbachia yang bermukim di tubuh nyamuk Aedes aegypti, dapat menghalangi virus dangue, chikungunya, zika dan demam kuning sehingga kemampuan nyamuk menularkan virus tersebut jauh berkurang.
“Saat nyamuk ber-Wolbachia dilepaskan mereka kawin dan berkembang biak dengan nyamuk liar dalam rentang 6-12 bulan. Selanjutnya menggantikan populasi nyamuk lokal. Semakin banyak nyamuk ber- Wolbachia di sekitar kita maka akan semakin terlindungi kita dari ancaman demam berdarah dangue (DBD),” jelasnya.
Metode Wolbachia kata Sucipto, telah diimplementasikan di 14 negara termasuk di Indonesia. Diantaranya di Yogjakarta, Bantul dan Sleman. Hasilnya metode itu berhasil menurunkan angka DBD hingga 77 persen dan penurunan rawat inap akibat dangue sebesar 86 persen.
“Kemenkes RI telah melakukan evaluasi penyebaran Wolbachia di Yogjakarta dan cukup bukti untuk memperluas manfaat metode Wolbachia dan menerapknnya di Bali, Semarang, Kupang, Bandung, Jakarta Barat dan Bontang,” paparnya.
Sedang terkait rencana penyebaran nyamuk ber-Wolbachia wmp di Bali menurut dr Sucipto merupakan kerjasama antara Kemenkes RI, Pemerintah Provinsi Bali, Save the Children, Yayasan Kerti Praja dan Universitas Udayana.
“Hanya kita tidak bergerak sendiri untuk mewujudkan masa depan Bali bebas dangue dengan terus mendukung implementasi metode Wolbachia di Bali,” tandas dr Sucipto. (625)