NEGARA | patrolipost.com – Setelah berpolemik, pembangunan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) di timur Jembatan Pulukan, Banjar Pasar, Desa Pekutatan, akhirnya berbuntut sengketa. Setelah disomasi oleh warga yang tinggal di lokasi lahan pembangunan TPS itu, Bendesa Adat Pekutatan, I Made Jangkep Ariasa, meminta petunjuk kepada Bupati Jembrana, I Putu Artha.
Sempat dipertanyakan warga, polemik pembangunan TPS di tanah pelaba desa adat terus bergulir. Warga menuding desa adat mencaplok lahan warga. Somasi dilayangkan ke Bendesa Adat Pekutatan, I Made Jangkep Ariasa. Selaku ahili waris pemilik lahan, Kadek Adi Wijaya, mengaku tanahnya dicaplok tanpa sepengetahuannya.
Somasi dilayangkan oleh Caritas Law Office, kuasa hukum dari pemilik lahan. Kuasa hukum warga, I Gusti Ngurah Komang Karyadi, memaparkan, historis tanah 48 are milik kliennya itu bermula dari penyerahan lahan kepada desa untuk menjadi objek landreform kepada para petani atau penggarap oleh PT Pulukan, pada pipil 752 tahun 1982.
Salah satunya untuk Pan Wija kakek dari kliennya. Namun pensertifkatan tidak tuntas lantaran salah satunya tidak mendapat rekomendasi desa. Kenyataannya dilakukan pensertifikatan oleh pihak desa setempat. “Pensertifikatan itu adalah bentuk pencaplokan hak rakyat atas nama adat. Padahal sudah ada hak-hak di atasnya,” kata Karyadi.
Warga pun sudah membayar pajak sejak tahun 1982. Ada beberapa poin dalam somasi, salah satunya pencaplokan tanah tanpa seizin pemilik resmi. Terlebih penerbitan sertifikat namun pipil masih atas nama Pan Rija. “Kami somasi ke aparatur negaranya. Terutama Bendesa adat Pekutatan atas pencaplokan tanah terhadap klien kami ini,” ujarnya.
Bendesa adat selaku tersomasi, menurutnya, telah melakukan perbuatan melawan hukum seperti pemasangan papan nama di atas lahan milik kliennya. Bahkan, sudah jadi bagian dari sertifikat milik I Nyoman Sudanarama dan jadi tanah pelaba pura. “Proses sertifikasi tidak melalui pengurus adat dengan klien kami sebagai pemilik tanah,” ujarnya.
Tahu-tahu, kata dia, sudah menjadi bagian dari sertifikat. “Anehnya lagi, yang tinggal di atas lahan 48,1 are disebut penumpang oleh Bendesa,” jelasnya. Kliennya meminta segala kegiatan yang dilakukan pihak desa di atas lahan tersebut dihentikan. “Jika hingga Kamis (19/09/2019) aktivitas tidak dihentikan kami akan bawa ke jalur hukum,” tandasnya.
Bendesa Adat Pekutatan, I Made Jangkep Ariasa, mengaku telah menemui Bupati Jembrana, I Putu Artha, untuk minta petunjuk terkait somasi tersebut. Pensertifikatan, kata dia, dilakukan sesuai prosedur, mulai sosialisasi ke krama di sekitar lokasi dan paruman sabha desa sudah menyetujui pensertifikatan tanah yang disebut milik Pemprov Bali.
“Kami meminta ke provinsi dan mendapatkan rekomendasi. Makanya kami sertifikatkan,” ujarnya. Pihaknya sudah melakukan paruman kertha desa menyikapi pipil yang dimiliki oleh warga. Seluruh pemucuk tidak pernah mengetahui pipil yang terbit tahun 1982 itu. Ia mengaku akan menggelar paruman lebih lanjut terkait hal ini. (pam)