BANGLI | patrolipost.com – Fenomena lalat di wilayah Kintamani viral di media sosial. Apalagi Kintamani menjasdi salah satu ikon destinasi pariwisata. Tak sedikit warganet yang merasa terganggu dengan keberadaan hewan bangsa flum arthropopada tersebut, saat berada di kawasan pasar dan restoran.
Serbuan lalat tersebut mendapat tanggapan dari Anggota DPRD Bangli Jero Gede Tindih. Politisi asal Desa Songan, Kintamani mengatakan, banyaknya lalat di Kintamani bukan hal baru. Namun sejak penggunaan pupuk mentah berupa limbah kotoran, populasinya semakin meningkat.
“Jadi pupuk juga sedikit menyumbang. Disamping juga kondisi alam dan lingkungan,” ujarnya, Minggu (6/1/2024).
Menurut Gede Tindih serbuan lalat di Kintamani sangat mengganggu kenyamanan para wisatawan. Walaupun diakui hingga kini belum ada penelitian lalat di Kintamani yang hinggap di makanan ataupun minuman akan menyebabkan penyakit.
“Lalat yang ada di Kintamani ini bukan lalat bangkai, melainkan hanya lalat biasa. Cuma memang menyebabkan banyak tamu komplain. Berbagai daya dan upaya sudah dilakukan pihak restoran, seperti menyalakan lilin. Tapi langkah yang dilakukan tidak maksimal,” ungkap politisi dari Partai Nasdem ini.
Lanjut Jero Tindih, meningkatnya populasi lalat merupakan fenomena alam. Karenanya sebagai solusi, ia menyarankan agar pemerintah daerah melepaskan burung ataupun predator alami untuk memakan lalat.
“Serangan tikus di Tabanan. Pemerintah Kabupaten sekitar melawan hama tersebut dengan cara melepaskan burung hantu merupakan predator alaminya. Karena ini merupakan siklus alam, maka harus dilawan dengan alam juga. Artinya burung di Kintamani harus dilawan dengan burung yang merupakan predator alaminya. Tentunya dibarengi dengan aturan daerah, terkait pelarangan memburu burung tersebut,” ujarnya.
Disamping itu sebagai solusi jangka panjang, pihaknya meminta agar penanganan lalat dilakukan dari hulu ke hilir. Mulai dari pembinaan kepada petani terhadap pemakaian pupuk mentah, termasuk juga pembinaan kepada masyarakat mengenai hidup bersih.
Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (PKP) Bangli I Wayan Sarma mengatakan, banyaknya lalat di Kintamani merupakan fenomena biasa. Namun pada musim-musim tertentu, memang terjadi peningkatan populasi.
“Biasanya terjadi pada akhir tahun. Yakni dari bulan November hingga Maret, saat musim buah di Kintamani,” jelasnya.
Selain disebabkan oleh perubahan musim, peningkatan populasi lalat di Kintamani salah satunya diperkirakan akibat penggunaan limbah ternak sebagai pupuk. Sepatutnya pupuk yang merupakan limbah ternak berupa sekam kotoran ayam broiler, seharusbnya lebih dulu melalui proses fermentasi sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk.
Pihaknya pun mengaku sudah sempat melakukan edukasi untuk mengolah limbah ternak, sebelum dijadikan pupuk. Hanya saja diakui biayanya lebih mahal, dibandingkan dengan penggunaan limbah secara langsung.
Lebih lanjut dikatakan Sarma, pihaknya di tahun 2023 sudah menyerap pupuk organik pengadaan Dinas Pertanian Provinsi Bali secara maksimal. Pun di tahun 2024, pihaknya telah menyampaikan ke provinsi agar lebih banyak diberikan porsi pupuk organik.
“Penggunaan pupuk organik ini untuk meminimalisir pemanfaatan limbah kotoran ternak secara langsung,” terangnya.
Selain itu untuk mengurangi populasi lalat, pihaknya juga berupaya membuat perangkap lalat. Salah satunya penggunaan ‘likat kuning’ (lem lalat). (750)