JAKARTA | patrolipost.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan mantan Direktur Jenderal Keuangan Daerah (Dirjen Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto sebagai tersangka kasus dugaan suap pengajuan dana pemulihan nasional (PEN) daerah untuk Kabupaten Kolaka Timur pada 2021. KPK juga menetapkan dua tersangka lain dalam kasus suap dana pemulihan pandemi Covid-19 ini.
Kedua tersangka lain yang juga terjerat dalam perkara ini yakni, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna, Laode M. Syukur Akbar dan Bupati nonaktif Kolaka Timur, Andi Merya Nur.
“Penetapan tersangka setelah dilakukan pengumpulan dari berbagai informasi dan data yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (27/1/2022).
Perkara ini merupakan pengembangan dari kasus dugaan suap terkait proyek yang berasal dari dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menjerat Andi Merya Nur dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Koltim, Anzarullah.
Andy Merya diduga menyuap Ardian sebesar Rp 2 miliar melalui rekening Laode M. Syukur. Suap itu diberikan agar Kabupaten Kolaka Timur mendapat alokasi pinjaman dana PEN.
Karyoto membeberkan Ardian Noervianto selaku Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri periode Juli 2020 sampai dengan November 2021 memiliki tugas di antaranya melaksanakan salah satu bentuk investasi langsung pemerintah yaitu pinjaman dana PEN dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berupa pinjaman program dan atau kegiatan sesuai kebutuhan daerah. Dengan tugasnya itu, Ardian berwenang menyusun surat pertimbangan Menteri Dalam Negeri atas permohonan pinjaman dana PEN. Sekitar Maret 2021, Andy Merya yang menjabat Bupati Kolaka Timur periode 2021 sampai 2026 menghubungi Laode M Syukur agar bisa dibantu mendapatkan pinjaman dana PEN bagi Kabupaten Kolaka Timur. Selanjutnya sekitar Mei 2021, Laode M Syukur mempertemukan Andy Merya Nur dengan Ardian di kantor Kemendagri, Jakarta.
“Tersangka AMN (Andy Merya Nur) mengajukan permohonan pinjaman dana PEN sebesar Rp 350 miliar dan meminta agar tersangka MAN (Mochamad Ardian Noervianto) mengawal dan mendukung proses pengajuannya,” ungkap Karyoto.
Untuk memuluskan pengajuan pinjaman itu, Ardian diduga meminta pemberian kompensasi atas peran yang dilakukannya dengan meminta sejumlah uang yaitu 3 persen secara bertahap dari nilai pengajuan pinjaman. Ardian menyampaikan keinginannya itu kepada Laode M. Syukur yang diteruskan kepada Andy Merya Nur.
“Tersangka AMN memenuhi keinginan tersangka MAN lalu mengirimkan uang sebagai tahapan awal sejumlah Rp 2 miliar ke rekening bank milik tersangka LMSA (Laode M Syukur),” papar Karyoto.
Uang Rp 2 miliar yang diberikan Andy Merya itu kemudian dibagi dua antara Ardian dan Laode M. Syukur. Ardian menerima dalam bentuk mata uang dollar Singapura sebesar SGD 131.000 atau setara dengan Rp 1,5 miliar yang diberikan langsung di rumah pribadinya di Jakarta. Sementara sisanya atau sebesar Rp 500 juta diterima Laode M Syukur.
“Atas penerimaan uang oleh tersangka MAN, permohonan pinjaman dana PEN yang diajukan tersangka AMN disetujui dengan adanya bubuhan paraf tersangka MAN pada draf final surat Menteri Dalam Negeri ke Menteri Keuangan,” tandas Karyoto.
Andi Merya Nur disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Ardian dan Laode disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (305/jpc)