DENPASAR | patrolipost.com – Perkawinan anak usia muda atau perkawinan dini masih terjadi secara masif di Indonesia. Kasus perkawinan anak yang dipicu oleh berbagai faktor, menjadi perhatian penting pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pasalnya, dampak negatif dari perkawinan anak di bawah umur sangat rentan terhadap anak yang terlibat.
Ketua LSM Bali Sruti Luh Riniti Rahayu mengungkapkan, jumlah perkawinan anak di Indonesia tidak pernah terungkap di permukaan. Namun, kondisi seperti itu banyak ditemukan di tengah masyarakat. Bahkan juga terjadi di wilayah Provinsi Bali.
Riniti mengatakan, secara aturan, pernikahan di Indonesia hanya bisa dicatatkan pada usia di atas 19 tahun. Di bawah usia 19 tahun masuk dalam kategori anak-anak.
“Tidak ada data yang jelas dan riil tentang perkawinan anak, karena tidak bisa didaftarkan, maka tidak pernah terungkap data pastinya berapa,” kata Luh Riniti di Denpasar, Rabu (12/7/2023).
Sebagai lembaga pendamping untuk perempuan dan anak, LSM Bali Sruti melihat kondisi itu cukup memprihatinkan. Mengingat, anak yang menjalani pernikahan dan melahirkan akan mendapatkan banyak kendala saat menjalani kehidupan sosial mereka.
“Rata-rata itu terjadi akibat kehamilan yang tidak diinginkan dan itu jadi sumber depresi baru,” jelasnya.
Secara legalitas, anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan dini hanya tercatat nama ibu. Sedangkan nama bapak, dikatakan Riniti, akan dihilangkan karena aturan tidak membolehkan.
LSM Bali Sruti menggelar kampanye menghentikan perkawinan anak dengan menggandeng sepuluh organisasi kemasyarakatan. Termasuk, menghadirkan anak-anak yang mendapatkan pendampingan oleh sejumlah yayasan di bidang perempuan dan anak.
Ketua Yayasan Lentera Anak Bali Anak Ayu Sri Wahyuni mengungkapkan, dalam pendampingan masyarakat untuk wilayah Karangasem, pihaknya menemukan fakta bahwa pelaku pernikahan muda tidak menemukan kenyamanan. Bahkan, cenderung menemukan kesulitan.
“Orangtua tidak ada solusi karena mereka telah tiga generasi hidup di jalan. Circlenya kembali ke tiga generasi dengan pernikahan muda dan pekerjaan yang paling mudah dilakukan,” jelas Sri Wahyuni.
Sementara, Ketua Institut Kapal Perempuan Misiyah mengungkapkan, perkawinan anak menjadi bentuk dari kekerasan seksual. Menurutnya, banyak tantangan yang dihadapi untuk mencegah perkawinan anak terjadi di tengah masyarakat.
Dikatakan Misiyah, tantangan terbesar untuk mencegah perkawinan anak karena ada dispensasi yang diberikan oleh Pengadilan Agama dalam menghadapi kasus pernikahan dini.
“Si anak kemudian dikabulkan menikah karena mengaku telah hamil misalnya, tanpa pembuktian USG. Kemudian diberikan dispensasi untuk menikah,” jelas Misiyah. (pp03)