PEKANBARU | patrolipost.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepala daerah di Riau memberi perhatian serius terhadap penyebab kerusakan infrastruktur jalan di wilayah.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata saat rapat koordinasi program pemberantasan korupsi terintegrasi tahun 2023 serta pengukuhan Forum Penyuluh Antikorupsi (Forpak) Provinsi Riau, Rabu (24/5/2023).
Alexander mengatakan, beberapa bulan terakhir Presiden mengunjungi dua provinsi di Sumatera, yakni Lampung dan Jambi meninjau terkait kerusakan infrastruktur terutama jalan.
“Itu sebetulnya (jalan rusak) tidak hanya terjadi di dua provinsi itu. Tapi hampir merata kerusakan-kerusakan infrastruktur itu, jalan rusak berlomba itu mudah-mudahan dicari dimana-mana, dan berbagai sindiran dan kritikan. Malah yang terakhir di Lampung itu sampai di Aparat Penegak Hukum (APH),” ujarnya.
“Masalah kerusakan jalan ini tentu harus menjadi perhatian bapak dan ibu kepala daerah di Riau. Sebagai penguasa (kepala daerah) kita itu tidak boleh telinga tipis, kita dengarkan aspirasi masyarakat dan kita perbaiki,” tambahnya.
Infrastruktur jalan yang mudah rusak, menurut Alexander, sebenarnya bisa ditelusuri lebih jauh apakah sudah benar perencanaan, pembangunan dan pertanggungjawabannya.
“Apakah di sana juga (pembangunan jalan) tidak ada korupsi. Ini juga jadi persoalan, dan kepala daerah saya rasa sudah paham, bahwa banyak proses pengadaan barang dan jasa kutipan-kutipan itu masih ada. Dari survei KPK terkait pengadaan barang dan jasa dan perkara yang ditangani KPK, nyatanya memang ada fee proyek 15 persen itu sudah lazim. Mensubkan pekerjaan ke pekerjaan ke perusahaan lain itu pun sudah lazim,” bebernya.
“Coba bayangkan ketika perusahaan yang memenangkan lelang itu hanya bermodalkan stempel atau bendera perusahaan, tapi tidak punya alat dan pekerja untuk mengerjakan. Artinya pemenang lelang tidak bekerja hanya mengambil fee saja 5 persen, kemudian yang mengerjakan ambil 10 persen. Belum lagi ada pungutan entah dari mana, entah itu dari preman legal dan ilegal, kalau preman pasti ilegal walaupun berseragam, dan itu ada itu. Dari perhitungan, jika proyek senilai 100 kalau bisa tersalurkan 60 saja itu katanya sudah bagus. Sisanya 40 persen, 10 persen untuk pajak, sisanya itu keuntungan perusahaan dan kutipan-kutipan lainnya,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, lanjut Alexander, bisa dibayangkan kualitas infrastruktur seperti apa yang bisa diharapkan dari suatu pekerjaan proyek.
“Seharusnya kalau proyek itu ingin baik, setidaknya yang masuk itu 80 persen setelah dikurangi pajak PPN dan keuntungan. Tapi kondisinya yang masuk hanya 60, berarti kan ada pengurangan kualitas. Itu yang terjadi. Belum lagi ada pekerjaan fiktif dan lainnya,” tukasnya. (305/ckc)