JAKARTA | patrolipost.com – Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menyoroti sikap pemerintah Indonesia yang tidak menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) disaat harga minyak mentah dunia anjlok. Menurut Tulus, hal itu merupakan penyakit inkonsistensi yang lama diidap oleh pemerintah.
“Ini tidak bisa dilihat hitam putih pada konteks regulasi yang ada. Tetapi juga dinamika-dinamika lain, baik pada konteks historis maupun sekarang ini. Jadi sumbu persoalannya, pemerintah inkonsisten soal kebijakan energi dari sisi hulu ke hilir, terkait dengan BBM maupun listrik. Ini penyakit lama pemerintah,” kata Tulus dalam virtual public discussion, yang digelar Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), kemarin.
Tulus mencontohkan pengalaman masa lalu, di mana pemerintah memiliki kesempatan untuk menaikkan harga BBM, namun ditahan karena alasan politis.
“Contohnya tarif listrik, tarif BBM pada 2018 lalu kan mustinya naik. Tapi kan tidak dinaikkan. Karena apa? Karena alasan pemilu. Sampai dua tahun tidak ada kenaikkan tarif listrik dan BBM. Padahal kalau menurut regulasi, regulasinya jelas, mustinya itu naik. Apalagi jika alasannya nilai tukar USD dan segala macam. Ini penyakit pemerintah, operator dan konsumen akhirnya dikorbankan,” lanjut Tulus.
Lanjut Tulus menambahkan, kemungkinan besar alasan pemerintah tidak menurunkan harga BBM karena ‘ingin’ menyelamatkan Pertamina. “Pemerintah samacam ‘ingin’ memberikan kompensasi atas piutang Rp 80 triliun Pertamina kepada pemerintah,” katanya lagi.
Menurut Tulus, sebagai BUMN, Pertamina sering dibebani dengan tugas-tugas berat oleh pemerintah. “Sebagai BUMN paling tajir, Pertamina banyak diberi penugasan di luar tugas mereka, yang seharusnya itu jadi tugas pemerintah. Tapi karena demi kepentingan politik dan sebagainya harus Pertamina yang menanggung,” ujar Tulus.
“Contohnya, kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia, itu siapa yang menanggung? Harusnya kalau berdasarkan cost yang ada, itu harusnya kan ditanggung APBN, tapi karena ini demi merah putih demi NKRI. Kemudian Pertamina yang menanggung dan sampai sekarang tidak dibayar tidak diganti. Akhirnya menjadi kontra produktif bagi BUMN seperti Pertamina,” jelasnya.(305/jpc)