LABUAN BAJO | patrolipost.com – Naiknya harga tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar di Kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang akan diberlakukan secara resmi mulai tanggal 1 Agustus 2022 nanti mendapatkan penolakan dari pelaku pariwisata yang ada di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penolakan datang dari berbagai profesi pariwisata yang ada, diantaranya dari ASITA, PHRI, Astindo, Askawi, Awstar, P3Kom, HPI, Jangkar, Gahawasri, Akuinitas, DOCK, IPI dan asosiasi pariwisata lainnya. Penolakan ini disampaikan langsung di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Barat, Senin (4/7/2022).
Dalam gelaran Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Mabar ini, penolakan disampaikan dengan mempertimbangkan berbagai alas an. Diantaranya, rencana kenaikan yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa melibatkan para pelaku pariwisata, harga kenaikan yang terbilang sangat tinggi hingga muncul kekhawatiran akan berkurangnya kunjungan wisatawan.
Ervis Budi Setiawan, salah seorang anggota ASITA Mabar menyampaikan, aturan kenaikan harga tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar ini dilakukan secara tiba – tiba tanpa melalui adanya sosialisasi ataupun berdiskusi dengan para pelaku pariwisata.
“Kami dari ASITA itu menolak rancangan ini, yang pertama pertimbangannya adalah rancangan ini dilakukan secara tiba – tiba tanpa ada sosialisasi dengan pelaku wisata di Labuan Bajo,” ujarnya, saat diwawancarai di sela sela masa skor sidang dengar pendapat.
Ervis menjelaskan, selain dilakukan tanpa melibatkan stakeholder terkait, naiknya harga tiket masuk ini dirasa terlampau tinggi dan dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi masyarakat pasca pandemi Covid 19. Tingginya harga tiket masuk tentu hanya akan mampu dibayar oleh wisatawan yang berkantong tebal yang tentunya juga akan memberikan dampak langsung pada berkurangnya penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kecil.
“Sebagaimana yang sudah diketahui, sudah ribuan orang yang menggantungkan diri dari sektor tourism di Labuan Bajo. Jadi bisa dibayangkan bila hanya sedikit orang yang datang ke Labuan Bajo maka hanya sedikit orang yang terlibat dalam usaha wisata dan itu kemudian saya yakini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah,” ucapnya.
Ervis mengakui, informasi kenaikan harga tiket masuk ini telah menjadi perhatian utama bagi para calon wisatawan yang hendak berkunjung ke Labuan Bajo. Meski belum ada calon wisatawan yang membatalkan kunjungannya, namun harga tiket masuk telah menjadi ketakutan tersendiri bagi wisatawan.
“Kalau untuk membatalkan reservasi belum ada tapi yang pasti adalah isu ini menjadi salah satu isu yang paling concern dari calon klien kami. Mereka sudah menanyakan bagaimana dengan opsi tour ke Komodo karena harga sekarang sudah sangat berbeda jauh, bayangkan dari Rp 150 ribu di hari biasa itu kemudian naik ke 3,750.000 sudah pasti ini sangat mencemaskan bagi klien potensial kami,” jelasnya.
Ervis bersama pelaku usaha wisata lainnya juga mempertanyakan alasan naiknya harga tiket masuk yang didasari pada tujuan konservasi semata. Menurutnya, jika didasari pada semangat konservasi, perlakuan terhadap Satwa Komodo yang ada di Pulau Komodo tentu haruslah sama dengan satwa Komodo yang ada di Pulau Rinca.
“Saya melihat bahwa jika logika konservasi yang dikedepankan, bagaimana bisa objek yang sama yaitu satwa Komodo bisa diperlakukan secara berbeda beda. Bayangkan Komodo di Rinca bisa dikunjungi ribuan orang tapi Komodo di Pulau Komodo sangat dibatasi, objeknya sama, sama sama New Seven Wonders of Nature di Dunia tapi pendekatan konservasinya berbeda begitu. Kalau misalnya pure konservasi yang dikedepankan harusnya itu harganya sama, Pulau Rinca dan Komodo harganya sama,” ungkapnya.
Selain itu, Ia juga menyinggung alasan naiknya harga tiket masuk dikarenakan adanya perubahan pada karakter satwa Komodo karena sering berinteraksi dengan manusia, sehingga menyebabkan sifat liar Satwa Komodo menjadi berkurang. Menurutnya, dari total luas Pulau komodo yang mencapai 31 Hektar lebih, hanya 1,3 persen dari luas wilayah yang dijadikan zona pemanfaatan wisata. Dalam zona ini, jumlah satwa Komodo hanya berkisar antara 60-70 dari total satwa Komodo yang hidup di Pulau Komodo secara keseluruhan yang mencapai 1.700 an ekor. Ia pun ragu jika jumlah sebagian kecil satwa Komodo ini mampu mempengaruhi karakter ribuan satwa Komodo yang ada di Pulau Komodo.
“Pulau Komodo ini adalah zona hidup bagi 1.700 an komodo dan hanya 60-70 ekor Komodo yang hidup di zona pemanfaatan wisata. Dari 60-70 ekor Komodo yang sering kami jumpai itu sangat jarang di atas belasan ekor. Artinya, bagaimana mungkin jumlah komodo yang sangat sedikit ini, yah kami juga mesti akui dia berjumpa dengan kami dia berinteraksi dengan kami, itu kemudian bisa mempengaruhi populasi yang lebih besar untuk kemudian sama – sama berubah secara karakternya,” ungkapnya.
Ia juga meragukan terkait adanya kegiatan penelitian yang dilakukan tim ahli hingga menyimpulkan adanya perubahan karakter Satwa Komodo. Menurutnya, penelitian terakhir kali dilakukan pada tahun 2018 silam, dimana hasil penelitian tersebut pun merekomendasikan agar dihentikannya kegiatan pemberian makan langsung (feeding) kepada satwa Komodo.
Semenjak itu, dia meyakini belum pernah dilakukan lagi penelitian terhadap karakter satwa komodo. Ditambah, pada bulan Maret lalu, BTNK menyampaikan sejak tahun 2018-2021 populasi komodo selalu bertambah.
“Penelitian terbaru yang terkait dengan perubahan karakter itu dilakukan di tahun 2018 maka kemudian aktifitas feeding itu dihentikan tetapi dari 2018-2022 tidak ada penelitian terbaru terkait perubahan karakter Komodo,” sambungnya.
“Ingat puncak tertinggi kunjungan wisatawan ke TNK itu terjadi pada tahun 2019. Saat itu jumlah kunjungan mencapai 221 ribu wisatawan. Pertanyaan besar kemudian apakah ada dampak dari 221 ribu ini terhadap perubahan mayoritas karakter Komodo di sana? Ini yang menjadi pertanyaan besar dari kami,” tambahnya.
Ia pun berharap, rencana kenaikan ini perlu ditinjau kembali dan dalam pembahasannya haruslah melibatkan semua stakeholder terkait mengingat dengan mulai bergairahnya pariwisata sebagai leading sektor di Labuan Bajo sedikit memberikan harapan dalam meningkatkan perekonomian para pelaku usaha pariwisata yang kolaps dihantam pandemi Covid-19. Tingginya angka kunjungan wisatawan yang telah mencapai angka 65.000 per awal Juni 2022 tentu memberikan dampak positif bagi pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu, mengingat penjualan paket wisata Taman Nasional Komodo telah dilakukan jauh jauh hari sebelumnya. Naiknya harga secara tiba-tiba tentu bukanlah sebuah solusi akhir yang harus dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat maupun provinsi.
Menurutnya, naiknya harga tiket ini tentu harus juga mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang baru saja mulai berangsur membaik paska pandemi Covid-19. Geliat industri pariwisata Labuan Bajo dirasakan mulai membaik melalui tingginya arus kunjungan wisatawan, baik dalam negeri maupun wisatawan mancanegara. Kondisi pun diharapkan terus mengalami perubahan menuju arah yang positif.
“Kami pelaku usaha tidak menentang upaya untuk menaikan harga, kami sepakat harga dinaikan tapi mesti harus logis, logis dasarnya, logis angkanya dan penerapannya. Jadi tidak secara tiba tiba. Kami di pelaku perjalanan ini sudah menjual paket untuk tahun 2022 di awal tahun 2022 bahkan untuk 2023 pun kita sudah sounding ke calon klien kita,” tutupnya.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah provinsi NTT secara resmi mengumumkan kenaikan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar di Taman Nasional Komodo. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Zeth Sony Libing dalam pernyataan persnya, Senin (4/7/2022) menyampaikan tarif masuk sebesar Rp 3,75 juta per orang akan mulai diberlakukan mulai tanggal 1 Agustus 2022.
“Kita akan mulai berlakukan pada 1 Agustus 2022. Ini hanya berlaku di Pulau Komodo dan Pulau Padar, Pulau Rinca dan lainnya tidak berlaku,” ujarnya.
Naiknya tarif ini jelas Zeth berhubungan dengan adanya penurunan nilai Jasa Ekosistem yang terjadi pada Pulau Komodo dan Pulau Padar. Untuk itu diperlukannya biaya konservasi untuk menutupi kerusakan yang telah terjadi. Zeth juga menyampaikan, Pemprov NTT juga akan memberlakukan batasan kunjungan menjadi hanya 200.000 kunjungan per tahun.
“Selama ini tiket masuk Rp 7.500 bagi wisatawan dalam negeri dan Rp 150.000 bagi wisatawan asing terlampau murah. Akibatnya konservasi tidak berjalan dengan baik, pemberdayaan tidak berjalan dengan baik, amenitas tidak dipenuhi, sampah tidak dikelola dengan baik,” ujarnya. (334)