KUPANG | patrolipost.com – Rekonstruksi kasus pembunuhan ibu dan anak yang terjadi di Penkase, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa ( 21/12/2021) kemarin mengakibatkan adanya perlakuan yang tidak layak terhadap seorang jurnalis yang sedang meliput di tempat kejadian perkara.
Kejadian ini kemudian ramai diperbincangkan masyarakat di platform media sosial. Perlakuan tak layak ini dialami oleh jurnalis Harian Pos Kupang, Irfan Hoy, saat sedang melakukan live pada platform Pos Kupang.Com.
Aksi arogan oknum anggota polisi tersebut terlihat dalam Live yang berlangsung. Seorang oknum anggota polisi yang menggunakan kemeja putih dan celana berwarna hitam menunjuk seorang wartawan Pos Kupang sembari melarang wartawan tersebut untuk tidak merekam serta menanyakan identitas perekam terlebih dahulu.
“Jangan merekam eh, siapa? dari mana? Ujar anggota polisi tersebut dalam video.
Wartawan tersebut pun menjawab bahwa ia merupakan wartawan Pos Kupang.
Meski telah memperkenalkan diri sebagai seorang jurnalis yang sedang melaksanakan tugas jurnalistik, sembari tetap menunjuk, oknum anggota polisi tersebut melarang Irfan untuk merekam, bahkan ia memerintahkan anggota lainnya untuk menyita HP wartawan Pos Kupang tersebut jika masih terus merekam suasana rekonstruksi.
“Jangan merekam, jangan merekam eh. Anggota dicek, kalau merekam handphone ambil,” ujar oknum anggota tersebut
Aksi arogan oknum anggota polisi ini pun mendapatkan kecaman dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda NTT. IJTI Pengda NTT menilai aksi oknum anggota polisi tersebut sudah menciderai UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
“Tindakan oknum polisi yang melarang bahkan memerintahkan anggota untuk merampas kamera wartawan yang meliput proses rekontruksi kasus pembunuhan itu adalah tindakan yang salah besar dan telah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers,” seru Ketua IJTI Pengda NTT, Stefanus Dile Payong, Rabu (22/12/2021).
Stefanus menjelaskan, kemerdekaan pers telah diatur sesuai pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dalam pasal tersebut pers nasional dalam mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi tidak boleh dilarang, disensor hingga pembredelan.
“Sesuai pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers bahwa :
Ayat
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2 Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Untuk itu, Stefanus mengatakan IJTI Pengda NTT sangat menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut. IJTI Pengda NTT juga mengutuk keras dan meminta kapolda untuk menindak tegas dan memberi sanksi yang setimpal kepada oknum polisi tersebut.
“IJTI Pengda NTT merasa kemitraan antara kepolisian dan jurnalis yang selama ini terjalin dengan baik dicoreng oleh oknum yang kurang memahami alur kerja seorang jurnalis,” ujar Stefanus.
Stefanus berharap Kapolda NTT segera menindaklanjuti perlakuan oknum polisi tersebut sehingga kemitraan antara jurnalis dan kepolisian dapat kembali terjalin dengan baik. (334)