BORONG | patrolipost.com – Bercocok tanam seperti menanam padi di sawah menjadi sebuah kewajiban bagi para petani di Manggarai Timur. Hal ini juga sudah jadi bagian dari budaya karena tahap tahap proses menggarap sawah tidak terlepas dari ritual-ritual adat. Namun demikian, menggarap sawah sangat bergantung pada intensitas hujan terutama untuk sawah yang jauh dari sumber air.
Eugen Rudiarto, seorang petani muda asal Deno, Desa Deno, Kecamatan Lambaleda Selatan, Manggarai Timur saat ditemui patrolipost.com di areal persawahan Lonto Ulu, Rabu (29/12/2021) menuturkan, optimisme menggarap sawah merupakan upaya mempertahankan ketahanan pangan.
“Musim hujan di sini merupakan musim tanam padi. Namun tahun ini berbeda karena intensitas hujan rendah. Saya tetap optimis menggarap sawah saya karena ini merupakan upaya memberdayakan potensi pertanian dan menjadi langkah untuk stabilitas ketahanan pangan,” jelasnya.
Selain itu, kata Eugen, dengan hasil padi dari sawah miliknya, dia dan keluarganya tidak memikirkan untuk membeli beras ataupun kalaupun harus beli beras hanya pada beberapa bulan tertentu saja.
Pantauan patrolipost.com, kebutuhan air untuk sawah yang digarap Eugen tidak cukup. Hal ini karena intensitas hujan menurun beberapa pekan terakhir. “Kita tetap menggarapnya berbekalkan optimisme. Biaya menggarap sawah cukup banyak dan harapannya hasil padi pada musim panen nanti sesuai dengan biaya, tenaga dan waktu yang sudah tersita saat ini,” imbuhya.
Sementara itu operator traktor, Robert mengakui cukup kesulitan menggemburkan tanah di sawah kering. Jika sawahnya berair, pengerjaannya pun akan lebih mudah dan cepat.
“Tentunya bajak sawah tahun ini lebih sulit dibanding sebelumnya. Namun sebagai petani tentunya ini tantangan yang harus dihadapi karena inilah profesi yang kami jalankan. Intinya adalah harapan akan hasil padi yang melimpah harus tetap ada meskipun melewati proses pengerjaan yang sulit,” tandasnya. (pp04)