Siti “Ipung” Sapura.
DENPASAR | patrolipost.com – Salah satu warga Desa Serangan, Denpasar, Siti “Ipung” Sapura menyoroti dan mempertanyakan penanganan dugaan kasus penyelewengan dana atau korupsi di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Adat Serangan, Denpasar Selatan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar mulai dipertanyakan. Ipung merasa gerah lantaran pihak Kejari Denpasar terkesan lamban dalam menangani kasus tersebut.
“Saya orang Serangan dan mau bertanya kasus LPD Serangan yang kerugiannya mencapai Rp. 6 miliar, luar biasa besarnya ini. Saya ingin bertanya kepada penyidik kejaksaan, ada apa sebenarnya sehingga penanganan kasus ini terlalu lama, bahkan satu tahun lebih. Kok sampai sekarang belum ada tersangkanya,” ucapnya, Kamis (7/4/2022) di Denpasar.
Di tengah ketidakjelasan tersebut, Ipung mendapat informasi bahwa ada seseorang yang diselamatkan dalam dugaan kasus korupsi di LPD Adat Serangan.
Jika memang demikian lanjutnya, sungguh tidak elok jika aparat penegak hukum justru mempermainkan hukum yang semestinya harus ditegakkan.
“Kalau ada yang mau diselamatkan dengan alasan kasusnya diarahkan ke perdata, karena ada pengakuan hutang, pertanyaan saya begini. Tolong dong dibuka surat pernyataan pengakuan hutang yang dibuat oleh orang yang mau diselamatkan ini,” tuturnya.
“Apakah surat pernyataan tersebut dibuat sebelum ada penemuan, atau sesudah ada temuan. Tetapi jika surat itu dibuat setelah ada kerugian Rp6 miliar di LPD Serangan, berarti ini ada sekenario,” ujarnya.
Sehingga kata Ipung, apabila benar kasus ini dibuat seolah-oleh menjadi hutang-piutang, maka tidak akan pernah ada orang dipenjara karena melakukan kejahatan korupsi.
Ia lantas menegaskan bahwa tindakan hukum yang seharusnya dilakukan oleh aparat adalah dengan menindak pelakunya, bukan malah mengalihkan kasus ini menjadi kasus hutang-piutang.
“Jadi abaikan surat pengakuan hutang, ini sekenario dan yang melakukan pemain. Kenapa saya bilang pemain, tidak hanya LPD yang dia tilap, uang hasil jual beli tanah saya juga dia tilep. Tidak sedikit lho, Rp1,5 miliar dan Rp2 miliar. Rp1,5 miliar yang seharusnya dia serahkan ke saya untuk dana punia tapi dia ambil duluan. Rp2 miliar yang bukan haknya diatasnamakan Desa Adat Serangan, namun setelah saya somasi dan mau saya laporkan ke polisi baru dia membuat surat pernyataan dan pengakuan bersalah, sama kan modus nya dengan uang LPD,” bebernya.
Ipung juga mempertanyakan bagaimana seorang pengawas bisa masuk ke bagian operasional LPD. Bahkan, orang tersebut kata Ipung juga melakukan tanda tangan untuk mencairkan dana yang kemudian diberikan kepada cucunya.
“Masuk akal nggak orang ini tidak makan uang itu, satu rupiah pun ia ambil uang disitu berarti dia korupsi disitu. Jadi jangan sampai surat pengakuan utang itu kemudian menjadi ke arah perdata. Ini satu paket, kalau mau menyelamatkan satu, harus ketiga-tiganya diselamatkan. Kalau dua dipenjara, ketiga-tiganya harus dipenjara,” tegasnya.
Ditanya apa dirinya pernah didatangi oleh seseorang terkait persoalan ini, Ipung secara gamblang mengaku pernah dihubungi oleh seseorang yang akan diselamatkan dalam kasus ini.
Di sana orang tersebut berkata kepada Ipung, “Anggaplah saya mencairkan dana atau memasukkan dana tapi tidak dimasukkan oleh cucu saya, dan diambil oleh cucu saya. Dan sekarang saya dilaporkan. Kalau saya buat pengakuan utang bagaimana Mbak Ipung”.
Mendengar itu, Ipung balik bertanya kapan pengakuan utang tersebut dibuat. Dikatakan juga oleh Ipung, jika surat pengakuan utang dilakukan sudah lama, ya tidak masuk. Tapi kalau pengakuan utang baru dibuat, maka dinamakan penggelapan.
Namun orang tersebut lanjut Ipung, mengaku telah menyelesaikan persoalan itu di pengadilan desa (Kerta Desa). Dan orang kerta desa nya juga ikut bicara saat itu dan Ipung meminta agar independen dalam kasus ini.
Ipung juga kembali menegaskan bahwa dalam persoalan di LPD Serangan melibatkan badan pengawas, ketua dan bendahara. Badan pengawas dan bendahara dalam kasus ini berafiliasi.
“Badan pengawas dan bendahara ada hubungan kekeluargaan, sementara ketua orang lain. Jangan sampai, kalau dianggap cucunya ambil uang, kakeknya tidak menikmati. Kayaknya tidak mungkin,” tandasnya.
Disinggung apakah ada intervensi oleh penguasa dalam kasus LPD Serangan, Ipung secara tidak langsung mengiyakan. Bahkan ia juga tahu jika ada kekuatan besar berada di belakang orang yang ingin kabar akan diselamatkan ini demi kepentingan yang lebih besar.
Terpisah, aktivis antikorupsi, I Nyoman Mardika mengatakan bahwa Kejaksaan Negeri Denpasar harus melanjutkan proses penanganan korupsi LPD Serangan karena bukti-bukti sudah mencukupi.
Aparat penegak hukum lanjutnya tidak boleh menerima lobi-lobi dari siapapun, apalagi dari seseorang yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
“Jaksa tipikor sudah membuktikan ada unsur-unsur terlibat di sana. Ketika bukti-bukti sudah mencukupi, maka Kejaksaan Negeri Denpasar agar segera menetapkan tersangka, siapapun itu,” ujarnya.
Disinggung adanya kekuatan besar ikut campur sehingga mengakibatkan proses penanganan kasus ini berjalan lambat, Mardika menyatakan dugaan-dugaan itu kemungkinan ada.
“Sudah biasa dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh publik, maka akan selalu ada kekuatan politik dan kekuatan modal yang mencoba ikut campur,” tuturnya.
Ketika ditanya seandainya kasus ini dihentikan, Nyoman Mardika menyebut hal ini akan menimbulkan kecurigaan apalagi jika bukti-bukti telah tercukupi.
Oleh karena itu, pihak Kejari Denpasar juga didesak agar segera berbicara untuk kejelasan penanganan kasus ini, karena penanganannya sudah cukup lama dan membuat masyarakat bertanya-tanya. (wie)