LABUAN BAJO | patrolipost.com – Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula tiba di Kejati NTT, Senin (18/1/2021) pada pukul 09.25 Wita. Bupati Dula didampingi kuasa hukum Antonius Ali menjalani pemeriksaan dari pukul 10.00 sampai 18.30 Wita.
Diketahui Bupati Dula mendatangi Kejati NTT untuk kembali diperiksa sebagai saksi dari salah satu tersangka yakni Andi Rizki Nur Cahya dalam kasus pengalihan aset Pemkab Mabar. Kuasa hukum bupati berencana mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka kepada Bupati Dula.
Kasipenkum Kejati NTT Abdul Hakim menjelaskan, meski berstatus tersangka, Bupati Dula sendiri belum ditahan karena masih menunggu izin dari Mendagri.
“Tidak dilakukan penahanan karena penyidik belum menerima izin dari Mendagri,” ujarnya.
Bupati Dula merupakan salah satu tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengalihan aset milik Pemkab Mabar senilai Rp 1,3 triliun. Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati NTT Kamis (14/1) yang lalu bersama 15 orang tersangka lainnya, Bupati Dula tidak langsung ditahan dan dibawa ke Kupang. Hal ini dikarenakan saat itu Kejati NTT tengah menunggu surat izin dari Menteri Dalam Negeri.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Bupati Dula, Antonius Ali SH MH menjelaskan, penetapan kliennya sebagai salah seorang tersangka dinilai sangat terburu – buru dan prematur. Menurut Anton Ali, instrumen tindak Pidana Korupsi yang digunakan oleh Tim Penyidik Kejati NTT terlalu berlebihan.
“Penetapan tersangka sangat terburu – buru, sangat prematur. Terlalu berlebihan untuk mewujudkan aset Pemda yang masih bersifat potensial menjadi nyata dengan menggunakan instrument tindak pidana korupsi, terlalu berlebihan, Masih ada instrument lain yang masih bisa dilakukan, yakni instrumen keperdataan. gugat secara perdata tapi ada apa di balik ini harus menggunakan instrument Tipikor?” ujarnya saat diwawancarai, Kamis (14/1/2021) lalu.
Anton menjelaskan, semisal jika ditemukan masyarakat biasa mengambil tanah milik pemda, maka instrumen yang dipakai yakni penggelapan bukan korupsi. Pemeriksaan terhadap ratusan saksi dalam kasus ini pun menurutnya tidak perlu dilakukan jika memang benar kepemilikan aset tersebut sudah jelas.
“Karena kalau menggunakan (instrument) korupsi maka negara akan menyerahkan kekuatannya yang begitu luar biasa. Sayang uang negara dihabiskan untuk pekerjaan ini semua. Karena gara – gara mengusut kasus yang tidak jelas ini sampai memeriksa ratusan saksi, tidak perlu sebenarnya. Untuk apa periksa kalau memang asetnya nyata. Berapa banyak negara dirugikan akibat memeriksa ratusan saksi,” ujarnya.
Untuk itu, Anton menjelaskan klientnya pun berencana akan mengajukan gugatan praperadilan.
“Kami masih pertimbangkan langkah untuk ajukan praperadilan. Secepatnya kami akan lakukan,” sambungnya.
Anton menjelaskan, Bupati Mabar seharusnya diberi apresiasi terkait usahanya dalam menjadikan aset seluas 30 hektar tersebut menjadi aset real, karena selama ini aset tersebut menurutnya masih bersifat pengadaan.
“Masih jauh panggang dari api kasus ini. Asetnya saja masih bersifat pengadaan. Belum menjadi aset real. Pemkab Mabar dalam hal ini Bupati sementara berusaha untuk membuat aset yang potensial ini menjadi nyata. Di tengah urusan inilah maka tiba – tiba dianggap bahwa Pak Bupati menjual aset daerah atau disangka melakukan perbuatan melawan hukum atau melakukan menyalahgunakan wewenang terkait pengelolaan aset daerah. Sementara aset daerahnya sendiri masih bersifat pengadaan bukan aset real,” jelasnya.
“Jadi asetnya masih jauh panggang dari api, masih dipersoalkan statusnya. Nah, bagaimana mungkin aset yang tidak jelas dianggap salah mengelola, kan nggak logis,” lanjutnya.
“Sehingga kalau sekarang dianggap tanah yang diberikan ke Pemda sangat tidak masuk akal. Untuk itu apa yang dilakukan oleh Pemkab Mabar dalam hal ini Bupati dalam rangka untuk bisa memperoleh tanah ini harus patut kita acungi jempol.”
Anton menceritakan, sejak awal mula tanah tersebut ditunjuk oleh Alm Dalu Ishaka pada tahun 1989 hingga saat ini, Pemkab Mabar belum secara nyata menguasai tanah tersebut. Adapun yang menguasai tanah yang ditunjuk oleh Dalu Ishaka tahun 1989 tersebut yakni tanah yang sekarang dikuasai oleh Niko Naput.
Lanjut Anton, Pemkab Mabar tidak pernah menerima tanah yang sekarang berbukit bukit. Alm Dalu Ishaka selaku Fungsionaris Adat Nggorang juga tidak pernah memberikan tanah yang berbukit – bukit karena tujuan pemberian tanah tersebut yakni untuk pembangunan Sekolah Kelautan dan Perikanan dengan pertimbangan, di pantai dataran untuk membangun Dermaga untuk keperluan Diklat.
“Betul semua tanah ini namanya Keranga, tapi Keranga yang mana? Tidak mungkin Gaspar Ehok (Bupati Kabupaten Manggarai tahun 1989) bangun Sekolah Kelautan di gunung di atas (berbukit), yang mungkin itu di dataran,” imbuh Anton Ali.
“Yang dilakukan Bupati selama ini sudah hampir menerbitkan sertifikat, sayangnya tidak dilanjutkan karena masih ada kendala, yakni alas haknya belum ada. Belum ada surat itu. Itu yang menjadi kendala selama ini. Yang terakhir tahun 2000-an Pak Bupati berencana untuk memastikan lagi tanah ini, untuk dipastikan hak untuk bisa diambil Pemda. Tetapi karena Covid-19 terhenti, dan tiba tiba jaksa dengan instrumen Tipikor masuk di situ,” tukasnya. (334)