BORONG | patrolipost.com – Kehidupan masyarakat Manggarai pada umumnya tidak terlepas dari adat istiadat. Adat sebagai sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dan sudah mendarah daging. Dengan demikian, segala dinamika kehidupan, pergantian musim dan lain sebagainya akan didahului atau disyukuri secara adat.
Salah satu acara yang diselenggarakan masyarakat adat Heso, Golo Wune, Lambaleda Selatan, Manggarai Timur adalah ritual adat Kalok. Ritual adat tersebut diselenggarakan di Heso pada Sabtu (30/12/2023) sore hingga Minggu (31/12/2023) sore.
Bernad Palur, salah satu tokoh adat setempat kepada patrolipost.com menjelaskan, acara dimulai dengan tabuhan gendang dan gong di rumah adat yang disebut ‘Takitu’.
“Sorenya, para tetua adat mengunjungi sumber mata air utama di kampung dengan tujuan memohon agar mata air senantiasa mengalirkan air berlimpah agar memenuhi kebutuhan masyarakat kampung dan bisa mengolah lahan. Ritual di mata air dikenal dengan istilah Barong Wae,” jelas Bernad.
Lanjut Bernad, dari mata air, tetua adat akan berpindah ke mesbah di gerbang kampung dengan tujuan mengundang ‘penjaga’ kampung untuk sama-sama ke rumah adat (mbaru gendang).
“Para tetua ada selanjutnya hampir di mesbah lain yang terletak di tengah kampung. Kemudian akan melaksanakan acara ‘teing hang’ di mbaru gendang pada malam hari,” jelasnya.
‘Teing hang’ merupakan ritual memberi makan kepada leluhur yang menjaga kampung. Tujuannya agar warga kampung senantiasa berlimpah berkat dan nantinya hasil panen berlimpah. Tanaman padi maupun lainnya dijauhkan dari hama,” imbuhnya.
Setelah acara di ‘mbaru gendang’, masyarakat adat pun mulai mengadakan ritual adat di rumah masing-masing.
“Ritual di rumah masing-masing bertujuan untuk memberi makan kepada leluhur di setiap kelompok yang lebih kecil yang bisa dibagi berdasarkan suku dan asekae bantang,” ungkapnya.
Selain memberi makan kepada leluhur di rumah masing-masing, ritual juga bertujuan menghormati penjaga rumah (naga mbaru). Penjaga rumah dipercaya sebagai sosok yang tidak bisa dilihat namun keberadaannya dianggap sebagai nyawa dari rumah yang didiami.
“Keesokkan harinya, menjelang sore akan dilaksanakan acara ‘Keru Lontang’. Acara ini seperti sebuah pentas seni dimana seorang lelaki akan memakai pakaian adat perempuan dan mulai menanam biji-bijian di miniatur kebun yang berbentuk sarang laba-laba atau disebut lodok,” tandas Bernad.
Bernad pun menambahkan, pada hari berikutnya diberlakukan larangan ke sawah, ladang atau kebun bagi seluruh masyarakat kampung. Larangan itu disebut ‘pireng’.
“Pireng ditentukan Kepala Kampung (tu’a golo), Kepala yang mengurus bagian lahan (tua teno) dan para tokoh adat di kampung tersebut,” tutupnya.
Pada acara kalok akan dihidangkan makanan khas Manggarai, nasi bambu yang biasanya dikenal sebagai ‘Kolo’. (pp04)