LABUAN BAJO | patrolipost.com – Data unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Manggarai Barat pada tahun 2021 menunjukkan terdapat 39 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rinciannya persetubuhan anak di bawah umur 6 kasus, pemerkosaan 1 kasus, pencabulan terhadap anak di bawah umur 3 kasus, kekerasan dalam rumah tangga 4 kasus, penganiayaan 16 kasus, perzinahan 2 kasus, pengancaman 3 kasus, pencabulan dewasa 2 kasus dan kekerasan terhadap anak di bawah umur 2 kasus.
Di tahun 2022, jumlah kasus meningkat menjadi 46 dimana diantaranya didominasi kasus penganiayaan 23 kasus, kekerasan dalam rumah tangga 8 kasus, pencabulan terhadap anak di bawah umur 5 kasus, pengeroyokan 5 kasus, pengancaman 3 kasus, perzinahan 2 kasus, persetubuhan anak di bawah umur 1 kasus, pemerkosaan 1 kasus dan kekerasan terhadap anak di bawah umur 2 kasus.
Berstatus sebagai korban dalam setiap tindakan kekerasan, kaum hawa justru menjadi sasaran mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitar. Kondisi miris ini pun tak luput dari perhatian seorang Alexandra G J Endy, siswi SMPK Sta. Angela Labuan Bajo. Sandra, begitu ia disapa, mengaku cemas dengan fenomena ini.
Dalam kegiatan Diskusi Publik “Permasalahan Perempuan Dan Anak di Kota Super Premium, Labuan Bajo”, yang digelar Perhimpunan Wartawan Manggarai Barat atau PWMB di Ballroom Gedung Labuan Square, Kamis (09/02/2023), Sandra mempertanyakan faktor faktor yang melegalkan korban kekerasan yang didominasi oleh kaum hawa mendapatkan perlakuan diskriminatif.
“Dalam konteks pemerkosaan terhadap wanita, sudah terlihat korban adalah wanita dan pelaku adalah pria, tapi kenapa wanita yang selalu menjadi sasaran diskriminasi, diejek, bully, hina, dikucilkan padahal dia adalah korban. Bahkan ada keluarga yang juga menyalahkan si wanita karena tidak bisa menjaga diri sendiri. Mengapa atau faktor apa yang membuat perempuan yang selalu menjadi sasaran diskriminasi oleh masyarakat akibat kekerasan seksual yang terjadi padanya, padahal dia adalah korbannya?” tanyanya dalam diskusi.
Sandra merupakan satu dari ratusan pelajar sekolah yang turut hadir dalam kegiatan dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional ke 77 ini. Jika Sandra menyoroti dampak buruk secara kasat mata melalui tindakan diskriminatif, yang mudah ditemukan, lagi lagi dengan Febronia Yunita Aby, siswi SMKN 1 Labuan Bajo.
Yuni, sapaannya, mencoba lebih jauh mendalami dampak buruk dari kekerasan terhadap perempuan dan anak yang marak terjadi di Labuan Bajo maupun Kabupaten Manggarai Barat pada umumnya. Tentu yang dimaksud adalah dampak buruk yang tak kasat mata, seperti gangguan mental, yang sewaktu waktu akan menjadi bom waktu dan menciptakan sebuah kondisi masa depan yang suram atau bahkan terciptanya karakter buruk pada diri seorang anak atau wanita.
Bahkan, Yuni menyarankan pemerintah untuk segera bertindak cepat mengatasi adanya ruang ruang kemudahan yang dimanfaatkan dengan buruk oleh para kawula muda.
“Apa implikasi paling buruknya bagi kaum perempuan yang mengalami tindakan kekerasan? Mengapa pemerintah tidak merobohkan tempat tempat kosong yang tidak digunakan yang sering dijadikan tempat berbuat mesum oleh anak anak muda?” ungkapnya.
Apa yang disampaikan dua generasi muda ini tentu merupakan sebuah gambaran kondisi nyata yang sedang dan bahkan akan terus terjadi ke depannya. Kondisi ini merupakan elemen terpenting dari terciptanya sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Manggarai Barat yang begitu sering terjadi.
Menjawabi hal ini, Koordinator Rumah Perlindungan Perempuan dan anak SSpS Labuan Bajo, Suster Frederika T Hana SSpS yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik ini menyebutkan bahwa perlakuan diskriminatif yang didapatkan oleh kaum hawa di saat menjadi seorang korban kekerasan terjadi dengan mudah karena didasari pada kurangnya rasa empati dan kepedulian terhadap para korban kekerasan. Rasa kepedulian masih jauh di bawah martabat dan nama baik keluarga.
“Kenapa terjadi perlakuan diskriminatif seperti itu, karena lingkungan belum bisa memberikan rasa empati, melindungi, kasih sayang, kepedulian, belum ada sisi itu dari kita terhadap korban kekerasan,” ungkapnya.
Hal ini jelas Suster Fredika merupakan sisi buruk dari sistem budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa yang dominan sehingga menimbulkan dampak negatif yang berpengaruh terhadap ketidaksetaraan gender.
Penerapan budaya patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti menjadikan pria memiliki hak penuh dalam menyelesaikan setiap permasalahan mulai dari tingkat paling bawah (internal keluarga) hingga di tengah tengah masyarakat.
“Dalam konteks jika korbannya itu masih bujang dan pelakunya itu seorang kepala keluarga. Maka yang disalahkan pasti kaum perempuan, karena ada paham laki laki dibenarkan. Itu realita. Karena bapak – bapak yang selalu berbicara saat menyelesaikan persoalan, perempuan atau istri biasanya ikut saja apa yang diputuskan, tapi tidak memikirkan dampak kepada mental dan psikologi di masa mendatang. Bisa jadi dia (korban) akan menjadi pemberontak,” ujarnya.
“Ketika terjadi korban kekerasan seksual, kita cendrung memilih menyembunyikan aib. Karena para pemimpin yang dituakan itu sedang memikirkan nama baik dan martabat keluarganya. Ada sistem pembenaran itu dalam keluarga atau masyarakat. Persoalannya, sistem lonto leok itu kebiasaan indah, tapi ketika penyelesaian kasus apakah melibatkan pelaku dan korban, kebanyakan itu tidak,” tambahnya.
Selama menangani sejumlah kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, suster Frederika menyebutkan korban kekerasan tidak pernah menjadi prioritas utama yang harus segera dilindungi, namun nama baik yang juga selalu diselesaikan dengan kebiasaan berdamai melalui jalur membawa “tuak”.
“Di rumah perlindungan itu antara suami dan istri sering bentrok. Ada beberapa kasus anak dan cucunya menjadi korban oleh pelaku yang sama. Si ibu pergi lapor trus si Bapak cepat – cepat bawa tuak untuk tarik kasus. Menyelesaikan dengan cara itu. Itu mengecewakan. Anak kandung sendiri jadi korban, tapi tuak tetap di depan jadi tidak berpikir pada proses memberi efek jera,” ucapnya.
Tidak sedikit pula kebiasaan adat istiadat menjadi penghambat dalam proses mencari keadilan bagi para korban kekerasan. Suster Frederika mencontohkan sebuah kasus persetubuhan yang dilakukan oleh orang ayah kepada anaknya.
Didalam proses pendampingan, sang anak kemudian berhasil mempertahankan kandungannya hingga akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. Namun sayang, proses mengembalikan korban dan anaknya ini kembali menemui kendala terkait adat istiadat yang harus dipatuhi di tengah tengah masyarakat.
“Ada korban, pelaku adalah bapak kecilnya. Dibawa ke rumah perlindungan lalu menitipkan anaknya. Sudah tau ada jalur hukum agar ada efek jera, tapi ketika kasus selesai di pengadilan, nona ini melahirkan di pengadilan saat ingin dibawa ke kampung jawaban mereka: ‘Kami harus tunggu lagi laki laki itu keluar penjara harus ada buat adat untuk bisa bawa masuk kampung. Ada hal – hal ini yang saya tidak paham,” ujarnya.
Dalam diskusi publik ini, suster Frederika mengajak semua pihak agar tidak apatis terhadap setiap persoalan yang menimpa kaum perempuan.
“Alangkah bagus jika di sini juga ada tokoh agama dan tokoh adat untuk ketemu titik temunya, apakah ada adat seperti itu. Sampai sekarang rumah perlindungan bukan rumah singgah tapi rumah permanen untuk setiap korban,” pungkasnya.
Suster Frederika juga mengkritiki sistem penyelesaian masalah yang selalu berakhir dengan jalur damai melalui mediasi ‘tuak’. Kearifan lokal ini tentu merupakan sebuah kebiasaan yang memiliki nilai positif, namun ia berharap tidak semua permasalahan yang ada harus berujung dengan permintaan maaf melalui sebotol sopi atau tuak (minuman keras).
Korban kekerasan menurutnya harus mendapatkan keadilan serta menjamin masa depan yang baik pula. Selain itu, harus pula ada efek jera bagi para pelaku yang pada umumnya merupakan orang orang terdekat korban.
Diskusi Publik ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Koordinator Rumah Perlindungan Perempuan dan anak SSpS Labuan Bajo, Suster Frederika T Hana SSpS, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polres Manggarai Barat AKP Ridwan, Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Manggarai Barat Maria Daduk, dan wartawan senior di Labuan Bajo, Servatinus Mammilianus. Hadir sebagai Keynote speaker, Wenda Ramadya Nabiel selaku Human Capital and Legal Compliance Director ITDC.
Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, AKP Ridwan menyebutkan salah satu faktor yang menyebabkan lambannya penyelesaian sejumlah kasus kekerasan pada perempuan dan Anak yakni tidak adanya keterbukaan akan informasi yang valid baik dari pihak pelaku maupun korban.
Hal ini merespon pertanyaan sejumlah peserta diskusi terkait proses penyelesaian kasus kekerasan yang dianggap lamban oleh Polres Manggarai Barat.
“Sejak 1 Januari 2021. Sistem laporan itu online. Kenapa prosesnya lama, karena identitas dari korban, pelaku bahkan saksi itu susah didapatkan. Masih sering tidak kooperatif. Seharusnya ini butuh kerjasama dan keterbukaan. Kami juga memiliki Keterbatasan kami di fungsi PPA. Hanya 6 orang. Tapi kita tetap menjadikan masalah masalah ini prioritas untuk diselesaikan,” ujar Ridwan.
Ridwan mengharapkan orangtua memiliki peran yang penting dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak. Disebutkan salah satu faktor yang banyak dijumpai adalah ketidakterbukaan anak dalam memberikan informasi terkait kekerasan yang menimpanya.
“Sehebat apapun permasalahannya, ibu adalah solusi terakhir. Ketika ada masalah terutama anak anak kita jangan langsung marah sehingga permasalahannya tidak akan tersampaikan. Jika ada masalah selesaikan dulu di dalam rumah. Menyikapi anak anak harus melalui komunikasi yang baik. Bimbingan dan pengawasan terhadap anak anak di rumah itu penting. Permasalahan paling tidak di rumah dulu, kalau kesulitan bisa hubungi kami, akan kami datangi,” ujar Ridwan.
Diskusi Publik Permasalahan Perempuan dan Anak di Kota Super Premium diikuti oleh ratusan pelajar SMP dan SMA/K se-kota Labuan Bajo, Mahasiswa, para Tokoh agama, Adat, dan Organisasi Kemasyarakatan.
Kegiatan ini mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, ITDC, Bank NTT, Polres Mabar, Kejari Mabar, PT Geo Dipa Energi, Loccal Collection, Zasco Mart, Denny’s Mart, Labuan Square, Hipmi Mabar, Exotic Hotel dan Restaurant, Sudamala Hotel, Meruorah Hotel. (334)