GIANYAR | patrolipost.com – Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ade T Sutiawarman didampingi oleh Bupati Gianyar I Made Mahayastra, Ketua DPRD Gianyar I Wayan Tagel Winarta, Anggota Forkopimda Kabupaten Gianyar, Panglingsir Puri Ubud dan tokoh masyarakat, meluncurkan Genah Adhyaksa Restorative Justice, di depan Puri Ubud, Selasa (26/4/22). Peresmian ditandai dengan pemukulan gong oleh Kejati Bali. Juga dilakukan penandatanganan prasasti oleh Kejati Bali, Bupati Gianyar dan Kejari Gianyar.
Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar Ni Wayan Sinaryati mengatakan, dalam melaksanakan tugas menjaga ketertiban dan ketenteraman umum, penegakan hukum yang dilakukan oleh jaksa haruslah memberi keadilan yang menciptakan keadilan di hati korban, pelaku dan masyarakat.
“Menyikapi program Jaksa Agung Prof Burhanudin untuk lebih bertindak adil kepada masyarakat dan diundangkannya Peraturan Kejaksaan No 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Kadilan Restoratif,” jelas Wayan Sinaryati.
Peraturan tersebut juga telah ditindaklanjuti dengan surat edaran Jaksa Agung No. 01E/Ejp/02/2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Dukungan Bupati Gianyar Made Mahayastra dan jajarannya terhadap dibentuknya Rumah Restoratif sebagai tempat musyawarah masyarakat sebelum masuk ke ranah penegak hukum, diapresiasi Sinaryati. Menurutnya, ini sebagai bentuk kerjasama yang baik antara kejaksaan dan pemkab.
“Ini merupakan bukti keseriusan Kejari Gianyar bersama Pemerintah Daerah dalam menjalankan penegakan hukum dan kepastian hukum yang adil,” ujar Wayan Sinaryati.
Bupati Mahayastra, mengatakan sebagai salah satu wilayah di Kabupaten Gianyar yang sudah dikenal hingga manca negara, tidak salah Ubud dijadikan tempat Genah Adhyaksa Rumah Restorative Justice.
“Karena di Kabupaten Gianyar, kasus yang paling sering muncul adalah kasus-kasus adat, kasus-kasus perdata, perceraian. Dari kasus itu memang tidak semua mesti harus melalui jalur peradilan,” kata Bupati Mahayastra.
Dengan adanya Rumah Restorative Justice Adhyaksana ini bisa dipadukan dengan Sipandu Beradat. Dimana sistem pengamanan Sipandu Beradat terdiri dari pecalang, tokoh adat, kepolisian. “Sehingga kalau bisa diselesaikan disana selesaikan disana, kalau tidak direkomendasikan ke perdata, pidana maupun lainnya. Selesaikan dengan ber-adat dulu, selesaikan dengan beradab, selesaikan dengan kekeluargaan dulu,” ujar Bupati Mahayastra.
Selain dalam penyelesaian, Bupati Mahayastra juga meminta untuk ruang konsultasi untuk orang tidak mengerti hukum. “Untuk orang yang tidak mengerti hukum silakan untuk konsultasi di Rumah Restorative Justice dahulu. Program yang luar biasa ini, akan saya support penuh,” papar Bupati Mahayastra.
Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ade T Sutiawarman mengatakan budaya hukum Indonesia yang berasal dari nilai-nilai bangsa yang lebih mengutamakan hati nurani dibandingkan dengan kepastian hukum yang logistik formil.
“Keadilan ada dalam hati nurani dan tidak dapat di undang-undang, sehingga keadilan dalam hukum Indonesia lebih mengedepankan perdamaian untuk memulihkan rasa damai bukan mengedepankan pembalasan,” papar Ade T Sutiawarman.
Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma penegakan hukum di seluruh dunia dari tujuan hukum untuk menjamin kepastian hukum dan mewujudkan keadilan dari retributive bergerser untuk mewujudkan keadilan restorative yang lebih mengedepankan pemulihan ke keadaan semula sebelum kejadian terjadi.
Pada tahun 2012, ketua Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM membuat nota kesepakatan bersama tentang pelaksanaan penerapan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda acara pemeriksaan cepat serta penerapan restorative.
“Melalui kebijakan bersama Jaksa Agung Republik Indonesia telah membuat Peraturan Jaksa Agung No 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Kadilan Restoratif yang menjadi harapan baru bagi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan penegakan hukum,” Ade T Sutiawarman.
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif tidak serta merta dapat diberikan kepada pelaku, karena prinsip dasar dari restorative justice berdasarkan kepentingan dari korban bukan untuk kepentingan pelaku. (kominfo/eka)