DENPASAR | patrolipost.com – Sepak terjang para mafia tanah yang kerap menimbulkan masalah bagi rakyat kecil pemilik lahan, membuat Bali Corrruption Watch (BCW) geram. BCW berkomitmen untuk melakukan perlawan terhadap para mafia tanah yang selama ini menjadi biang keladi berbagai masalah pertanahan yang terjadi, dengan membuka posko pengaduan bagi para korban.
“Masyarakat dapat mengadukan kasusnya ke penegak hukum, dan kami juga siap menerima dan menindaklanjuti kalau ada pengaduan dengan data dan bukti pendukung yang kuat,” kata Ketua BCW, Putu Wirata Dwikora, dalam keterangan pers pada Selasa (21/12/2021). Ia optimis, bila semua komponen masyarakat, dari kampus, LSM, politisi dan penegak hukum, bersinergi, maka keberadaan mafia tanah ini bisa dilawan.
Dalam beberapa waktu terakhir, masalah mafia tanah ini kembali menghangat dan menjadi pembahasan dalam berbagai diskusi. Di Singaraja, LSM Kompak menggelar diskusi akhir tahun dengan tema perlindungan hak masyarakat atas tanah. Diskusi secara hybrid ini menghadirkan narasumber dari Pemprov Bali, BPN Singaraja, Komisi III DPR RI, BCW.
Sementara, di Jakarta, Prodi Doktor UKI (Universitas Kristen Indonesia) menggelar seminar hybrid dengan tema “Memutus Ekosistem dan Episentrum Mafia Tanah” pada 14 Desember 2021 lalu. Sebagai keynote speaker adalah Wakil Ketua MPR, Dr Ahmad Basarah, dan narasumber Menteri ATR/BPN, Sekjen MPR RI, Anggota Komisi II DPR RI, Bareskrim Polri, pakar hukum agraria dari UKI Jakarta, Ketua Forum Pemerhati Korban Mafia Tanah.,
Dua diskusi tersebut menarik perhatian masyarakat di Bali yang merasa menjadi korban mafia tanah. Ada warga Desa Lemukih, Buleleng, yang 46 tahun berjuang membela tanah “Druwe Pura” seluas 96 ha, yang disertifikatkan oleh penggarapnya secara perorangan. Ada juga korban di Desa Ungasan, mewarisi sekitar 14 ha tanah sejak ratusan tahun, dan memenangkan gugatan PTUN sampai Mahkamah Agung (MA) tahun 2001, namun yang memperoleh sertifikat justru pihak yang dikalahkan dalam putusan MA, yakni Pemprov Bali.
Di luar kasus yang diungkap dalam diskusi, menurut informasi di media massa, ada warga Nusa Penida yang 5 ha lebih tanahnya digelapkan oknum kepala desa dengan cara menipu dan memalsukan, ada pula yang merasa tanahnya diincar oleh kelompok mafia yang “menggorengnya” menjadi perkara, dengan melakukan permainan tingkat tinggi dan holistik, mulai dari luar sampai lingkar pengadilan.
Menurut Putu Wirata, beberapa kasus mafia tanah yang patut menjadi perhatian serius. Salah satunya yang terjadi di Nusa Penida itu. Pasalnya, selain pemilik, pembeli lahan itu juga menderita kerugian hingga Rp 832 juta karena tanah yang dibeli tersangkut kasus pidana.
Mencuatnya kasus-kasus tersebut, kata Putu Wirata, menandakan Bali tidak luput dari cengkeraman mafia tanah. Karena itu, dia meminta penegak hukum tidak tebang pilih dalam memberantas mafia tanah.
“Dalam kasus dugaan tindak pidana di Nusa Penida, yang menurut media baru ada satu orang tersangka, yakni seorang mantan kepala desa, kita dukung sekaligus mendorong kepolisian mengusut aktor lain yang terlibat. Apa iya hanya kepala desanya yang terlibat dan layak jadi tersangka? Bagaimana dengan notarisnya, pegawai BPN, PPAT, dan lainnya?’’ cetus Putu Wirata lagi.
Terkait ada beberapa warga yang merasa tanahnya diincar oleh kelompok mafia, Putu Wirata mengungkapkan, modus seperti ini ebih halus dan tidak mudah dibidik. Persekutuan ini melibatkan banyak aktor, ada yang bertindak sebagai penggugat dan satunya lagi bertindak sebagai penyandang dana. Merespon hal ini, Putu Wirata meminta semua lapisan untuk bersinergi memberantas mafia tanah.
Dia optimistis persolan mafia tanah ini bisa ditekan apabila komponen masyarakat, dari kampus, LSM, politisi, dan penegak hukum bahu membahu untuk melindungi hak-hak masyarakat atas tanahnya.
“Sesuai komitmen Presiden dan kementerian dan lembaga penegak hukum terkait, Negara tidak boleh kalah melawan mafia dan harus dibuktikan dengan dibongkarnya semua aktor yang terlibat, jangan ada kesan tebang pilih,” pungkasnya. (wie)