LABUAN BAJO | patrolipost.com – Pelaku pariwisata yang tergabung dalam Gabungan Usaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (Gahawisri) dan Dive Operators Community Komodo (DOCK) menyoroti hasil kerja program Konservasi Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) pada perairan Taman Nasional Komodo (TNK) selama kurang lebih 25 tahun pasca munculnya kebijakan tarif baru masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar serta perairan sekitar.
Kinerja BTNK disoroti lantaran pemberlakuan tarif baru sebesar 3.750.000 yang didalamnya memuat biaya pemulihan terumbu karang yang telah rusak, biaya pengelolaan sampah, pemenuhan fasilitas pendukung hingga kepada biaya pemantauan kualitas permukaan air laut seolah – olah hal yang baru dilakukan. Padahal selama ini mereka diwajibkan membayar biaya yang cukup besar saat melakukan aktivitas dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Wakil Ketua DPC Gahawisri Labuan Bajo, Budi Widjaja misalnya, mempertanyakan program lanjutan atas iuran yang selama ini dibayarkan oleh para operator kapal untuk pengelolaan sampah kepada Pihak BTNK.
Sebab selain biaya tiket masuk, para operator kapal di Labuan Bajo juga miliki kewajiban untuk membayar retribusi sampah yang besaran nominalnya tergantung pada bobot kapal (GT). Jika iuran tersebut tidak dibayarkan maka otomatis izin berlayar tidak akan dikeluarkan oleh Syahbandar. Namun, sampah ternyata masih menjadi masalah utama.
“Kita bayar izin operasional laut dan juga sampah, dimana sampah dihitung per GT (Gross Tonage). Jika belum bayar tidak bisa dapat izin berlayar. Ketika selesai dibayar kami bingung apa bentuk program sampah yang dilakukan, karena selama ini kamilah pelaku pemungut sampah itu, baik di pantai maupun laut,” ujarnya.
Selain retribusi sampah, Budi menyebutkan biaya yang juga wajib dikeluarkan adalah biaya mooring (tali tambat) kapal saat berlabuh di destinasi wisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Untuk mendapatkan mooring ini jelas Budi, para operator kapal juga harus mengeluarkan biaya khusus, namun kurangnya optimalnya fungsi pengawasan dari pihak otoritas menyebabkan mooring kapal sering hilang dan jumlahnya pun sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kapal wisata yang masuk dan berlabuh di perairan TNK.
Hal lain yang disoroti adalah pengoptimalan fasilitas penunjang yang tersedia di sejumlah destinasi wisata, seperti toilet di Pulau Padar dan Komodo ataupun keberadaan mooring kapal. BTNK selaku otoritas pengelola anggaran dinilai gagal. Meski telah dibayar, namun jumlah mooring kapal sangatlah sedikit dibanding jumlah kapal yang masuk ke perairan TNK.
“Kondisi ini menyebabkan untuk berlabuh, sejumlah kapal wisata terpaksa harus menggandeng kapal wisata lainnya. Kondisi ini dirasakan sangat tidak nyaman bagi wisatawan bahkan dapat memicu kapal oleng dan tenggelam jika ada cuaca buruk,” ujar Budi.
Untuk itu, baik Gahawisri maupun DOCK menyebutkan penggunaan dalil Konservasi, khususnya pada kawasan laut berikut ekosistemnya sebagai dasar kenaikan tarif tidak menjamin terciptanya konservasi yang lebih baik.
“Meskipun alasan tersebut mungkin terlihat sebagai suatu pembenaran yang masuk akal untuk rencana kenaikan tarif tersebut, kami percaya bahwa alasan kenaikan tarif ini tidak dapat menjamin konservasi yang tepat dan yang dapat hidup berdampingan dengan lanskap sosial yang sehat/berkelanjutan dan ekonomi local,” sebutnya.
Baik anggota Gahawisri, Dock maupun pelaku wisata lainnya mengakui meskipun diwajibkan membayar sejumlah tarif demi kepentingan konservasi, namun praktek kerja nyata justru lebih sering dilakukan oleh para pelaku pariwisata sendiri.
Praktik pariwisata yang bertanggung jawab – seperti tidak melepas jangkar di lokasi terumbu karang dan/atau di perairan yang lebih dangkal dari 30 m, tidak menangkap ikan di zona larangan tangkap, interaksi laut yang terkendali, penggunaan Tumbler menggantikan botol plastik, tidak menggunakan kantong plastik dan lain sebagainya merupakan aspek mendasar untuk pengelolaan Taman Nasional Komodo yang tepat.
Namun sayang, praktik – praktik tersebut seringkali dilanggar oleh oknum-oknum yang tidak bermoral. Hal ini pun disebut dikarenakan kurangnya pengawasan dari pihak otoritas.
“Kita sering menemukan bekas perlengkapan bom ikan di bawah laut saat kita melakukan program bersih sampah. Bahkan kita menemukan kulkas bekas juga. Ini pengawasannya yang kurang,” ungkap Budi.
Mirisnya, meskipun telah dibuatkan sebuah grup WhatsApp khusus yang melibatkan semua stakeholder terkait untuk memudahkan koordinasi dalam melakukan pengawasan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, namun dalam prakteknya sangatlah berbeda.
“Dalam hal ini kami terus berkoordinasi, bahkan ada grup WA yang namanya task Force yang berisikan dari teman-teman asosiasi, BTNK, pihak Kementrian dan lain – lain, hanya sayang hingga saat ini belum ada aksi nyata yang dilakukan dengan pelaporan itu, bahkan ada hotline tapi tidak pernah diangkat. Kita telepon selalu dengan alasan infrastruktur, transport dll,” bebernya.
Bagi mereka, pengelolaan dan konservasi kawasan TNK merupakan tanggung jawab seluruh operator pariwisata. Demikian pula kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan sosial dan bisnis dan pulau-pulau TNK seperti Rinca, Komodo, Padar dll. Untuk itu mereka menyampaikan penolakannya atas kenaikan tarif yang begitu drastis yang hanya merugikan pelaku pariwisata lokal.
“Alasan yang mendasar lainnya adalah tidak adanya kerja nyata demi tujuan konservasi oleh pihak pengelola. Fasilitas yang sudah ada tidak pernah dioptimalkan atau didisiplinkan untuk dijalankan. Kemudian dari segi perhitungan ekonomi juga tidak masuk akal untuk dikenakan per orang per tahun karena tidak adanya tamu yang datang berkali – kali dalam setahun. Ini sangat merugikan pelaku pariwisata local,” ungkap Budi. (334)