DENPASAR – patrolipost.com – PENGGUNAAN rokok elektrik seperti vape memang masih diliputi kontroversi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa jenis rokok alternatif ini aman, sementara studi lain menegaskan jika produk tersebut sama berbahayanya dengan rokok tembakau pada umumnya.
Peneliti drg Amaliya dari Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (Kabar) mengatakan bahwa vape memiliki kadar nikotin yang lebih rendah dibandingkan dengan tembakau. Selain itu, uap yang dihasilkan berbeda dengan asap pembakaran dari tembakau yang mengandung tar. “Beberapa negara sudah meneliti, misalnya di Public Health England menyatakan bahwa bahaya rokok elektrik 95 persen lebih rendah daripada rokok biasa,” kata Amaliya, saat ditemui di Menteng, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Meski begitu, Amaliya tidak menyangkal bahwa tetap ada bahaya dari rokok elektrik seperti vape. “Masih ada 5 persen. Tetapi bahayanya tidak sebanyak rokok biasa, sehingga bisa dimasukkan dalam strategi harm reduction,” kata dokter yang tergabung dalam Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) tersebut.
Amalia menuturkan bahwa 5 persen bahaya dari rokok elektrik kebanyakan berasal dari proylene glycol, perasa, dan vegetable glycerin. Menurutnya, zat-zat semacam ini apabila dimasukkan ke dalam tubuh tetap berpengaruh pada kesehatan. “Beberapa penelitian mengatakan, ada iritasi tenggorokan. Orang yang beralih dari rokok biasa ke elektrik mengatakan ada sedikit iritasi di tenggorokannya atau agak gatal. Hal itu mungkin ‘throat hit’, jadi nikotinnya agak menyedak di tenggorokan. Kemudian juga sariawan,” ujar Amaliya, sembari menambahkan, tujuh bulan setelah penggunaan vape, gejala-gejala tersebut mulai berkurang.
Ketua Umum (Ketum) Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI) Dr Mariatul Fadilah, mengatakan vape tetap bisa menimbulkan ketagihan. Hal ini apabila dalam rokok alternatif tersebut mengandung nikotin. “Yang mengakibatkan kecanduan adalah nikotinnya itu,” jelas Mariatul.
Menurutnya, nikotin sendiri berbahaya bagi kesehatan apabila berlebihan, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis karena adiksi. “Kerusakan yang masuk ke susunan saraf pusat berupa adiksi seperti sakau. Jadi gejala kerusakan tergantung dari organ yang rusak,” ujar Mariatul.
Menurutnya, nikotin adalah sebuah zat yang membuat ketagihan seseorang dan membuatnya merasa tidak puas. “Untuk pengobatannya harus dari dua hal. Kalau terkena jantung ya jantungnya diobati, nikotinnya juga harus di-setop. Kalau kena psikologis, psikologisnya diobati, nikotinnya juga,” saran Mariatul.
Meskipun dianggap aman, namun tidak sedikit penelitian menyebutkan bahwa vape sama berbahayanya dengan rokok konvensional. Temuan di American Journal of Physiology memperlihatkan, baik rokok elektrik dan vape isi ulang tetap tidak baik untuk kesehatan, bahkan efek jangka panjangnya belum diketahui. “Temuan kami menunjukkan bahwa paparan uap rokok elektrik dapat memicu respons inflamasi dan memengaruhi mekanisme sistem pernapasan,” kata peneliti dr Constantinos Glynos.
Eksperimen yang dilakukan pada tikus menunjukkan bahwa mengisap vape dalam jangka pendek saja, menyebabkan radang paru-paru yang mirip atau bahkan lebih buruk daripada rokok konvensional. “Efek merugikan yang diamati pada paru-paru akibat paparan uap rokok elektrik, pada model hewan, menyoroti perlunya penyelidikan lebih lanjut tentang keamanan dan toksisitas dari perangkat yang berkembang pesat di seluruh dunia ini,” kata Glynos yang melakukan penelitiannya di Yunani.
Selain itu, dalam studi yang terbit di European Respiratory Journal menyebutkan bahwa vape bisa menyebabkan pneumonia. “Jika memilih untuk mengonsumsi rokok elektrik, maka ini mengindikasikan adanya kemungkinan kerentanan terhadap bakteri pneumokokus,” ujar Jonathan Grigg dari Queen Mary University of London, seraya menuturkan, beberapa orang mungkin berpikir jika vape itu aman, namun penelitian ini membuktikan bahwa menghirup asap vape berpotensi menimbulkan efek buruk pada kesehatan. (jok)