Korban Keracunan MBG Capai 5.000 Siswa, Terbanyak di Bandung Barat 842 Orang

keracunan mbg1
Anggota TNI bersama relawan mengevakuasi korban keracunan di Posko Penanganan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025). (Antara)

JAKARTA | patrolipost.com – Korban keracunan makan bergizi gratis (MBG) berjatuhan di sejumlah daerah di Indonesia. Terbanyak di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, tembus 842 orang sejak Senin (24/9/2025) sampai Rabu (24/9/2025).

“Total korban keracunan sebanyak 842 orang. Data terakhir pada pukul 16.24 WIB,” kata Plt Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat, Lia N Sukandar, saat ditemui di posko kesehatan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Rabu (24/9/2025) malam.

Lia menjelaskan, pada Senin lalu, keracunan massal pertama terjadi di Cipongkor dengan 393 korban, mulai dari siswa PAUD hingga SMK. Mereka diketahui menyantap menu MBG yang disiapkan dari dapur SPPG Cipari di wilayah Kecamatan Cipongkor.

Kasus serupa kembali terjadi pada Rabu, baik di Cipongkor maupun di Cihampelas, dengan 449 korban tambahan. Terkait perbedaan data yang sempat muncul dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Lia mengatakan hal itu disebabkan oleh adanya perhitungan awal secara kasar, yang kini telah diperbarui berdasarkan laporan Dinkes.

Lia menyebut, jumlah korban pada kejadian kedua lebih banyak dibandingkan hari pertama. Meski begitu, penanganan dilakukan lebih cepat karena banyak bantuan datang dari berbagai pihak. Keterbatasan fasilitas sempat menjadi kendala, terutama pasokan oksigen di posko kesehatan. “Petugas sempat kewalahan karena oksigen habis, tetapi tidak berlangsung lama. Banyak pihak yang memasok tabung oksigen ke posko-posko,” kata Lia.

Korban dengan gejala berat mengalami kejang, dehidrasi, hingga penurunan kesadaran. Mereka langsung dirujuk ke sejumlah rumah sakit, dengan sebagian besar dirawat di RSUD Cililin. Situasi sempat kritis ketika RSUD Cililin penuh. Dinas Kesehatan Bandung Barat bahkan menutup sementara akses pasien baru pukul 15.00 WIB dan mengalihkan korban ke beberapa rumah sakit lain.

Kepala Staf Presiden (KSP) M Qodari di Istana, Jakarta, Senin (22/9/2025), sempat menyebut dari 5.000 kasus keracunan MBG, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus keracunan terbanyak di Indonesia.
Adapun kasus keracunan bukan hanya terjadi di Bandung Barat saja. Peristiwa serupa juga sempat terjadi di Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Cianjur.

Kendati korban terus berjatuhan, namun Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamen Sesneg) Juri Ardiantoro menyatakan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak akan dihentikan. Munculnya desakan sejumlah kalangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh pascakasus keracunan massal menurutnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah.

Penjelasan Gubernur Jabar

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berjanji segera melakukan evaluasi terhadap penyelenggara maupun vendor penyedia makanan. Pekan depan dia akan memanggil pengelola MBG di Jabar untuk meminta penjelasan.

Menurut mantan Bupati Purwakarta ini, salah satu penyebab keracunan adalah ketidakseimbangan antara jumlah penerima layanan dengan tenaga yang tersedia, ditambah manajemen penyajian makanan yang kurang tepat.

Dia menilai kasus keracunan ini disebabkan manajemen penyajian yang buruk. Makanan dimasak terlalu awal, disajikan dalam jumlah besar, dan dibagikan dalam jarak waktu yang lama sehingga kualitasnya menurun.

“Misalnya yang dilayani ribuan orang, tetapi yang melayani sedikit. Masaknya jam 1 malam, disajikan jam 12 siang. Jarak waktunya terlalu lama, ini yang harus dievaluasi. Kalau penyelenggara tidak mampu, ya diganti dengan yang lebih mampu,” kata Dedi saat ditemui di Balai Pakuan Bogor, Rabu (24/9/2025), dikutip dari kompas.com.

Meski tidak ada korban meninggal akibat kasus keracunan MBG, Dedi menilai kejadian tersebut menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak. Mereka bisa kehilangan kepercayaan untuk mengonsumsi makanan MBG, padahal makanan bergizi tersebut penting untuk tumbuh kembang.

Menanggapi wacana moratorium program MBG di Jabar, Dedi menilai langkah yang lebih penting adalah mengevaluasi penyelenggara terlebih dahulu. Ia menegaskan akan memastikan penyedia makanan benar-benar mampu dan kualitas makanan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

“Yang harus dilihat, pertama penyelenggara mampu atau tidak. Kedua, makanan yang disajikan sesuai dengan harga atau tidak. Kalau ternyata tidak mampu dan kualitasnya menurun, ya harus dievaluasi,” ujarnya. (807)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *