DENPASAR | patrolipost.com – Bencana banjir yang melanda Bali pada 10 September 2025 lalu menjadi cermin rapuhnya tata kelola lingkungan di Pulau Dewata. Meski curah hujan ekstrem tercatat hingga 245,75 milimeter hanya dalam satu hari, faktor yang memperparah dampak banjir justru berasal dari persoalan klasik sampah yang penanganannya belum tuntas.
Tumpukan sampah yang menutup aliran sungai menyebabkan debit air yang besar gagal terserap, merendam kawasan padat penduduk, dan menelan 17 korban jiwa, dengan 5 orang lainnya masih hilang.
Kerugian sosial dan ekologis ini menegaskan bahwa sampah bukan lagi sekadar isu kebersihan, melainkan ancaman nyata bagi daya dukung lingkungan dan keselamatan manusia.
“Persoalan sampah harus ditangani di sumbernya. Tidak boleh lagi hanya dipindah, karena sudah memperparah bencana dengan korban jiwa,” tegas Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq saat mengunjungi korban banjir di Denpasar, Sabtu (13/9/2025).
Krisis ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah di Bali belum terintegrasi antara hulu dan hilir. Di satu sisi, kebiasaan membuang sampah sembarangan masih terjadi, sementara di sisi lain infrastruktur pengolahan belum mampu menampung volume sampah harian yang terus meningkat.
Situasi ini diperparah oleh kurangnya pengawasan di daerah aliran sungai, sehingga sampah plastik, organik, hingga material konstruksi menumpuk dan menjadi sumbatan fatal saat hujan ekstrem melanda.
“Kita tidak boleh lagi membiarkan persoalan sampah hanya menjadi urusan teknis pemindahan lokasi. Sampah harus diselesaikan secara tuntas di sumbernya agar tidak menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat dan kelestarian lingkungan,” tegasnya.
Langkah strategis yang kini digagas mencakup penguatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, pembangunan fasilitas pengolahan modern di tingkat kabupaten/kota, serta integrasi penegakan hukum terhadap pembuangan sampah ilegal.
Pemerintah juga mendorong sinergi dengan sektor swasta dan komunitas untuk mengurangi timbulan sampah dari sumbernya, sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular.
“Momentum ini harus kita jadikan pengingat bersama bahwa sampah adalah ancaman nyata. Bila tidak ditangani serius, ia akan terus menjadi bom waktu yang memperparah bencana di Bali,” ujarnya.
Dengan mengubah paradigma pengelolaan sampah dari sekadar pemindahan menjadi penyelesaian di sumber, pemerintah berharap Bali dapat memutus siklus buruk sampah sebagai pemicu bencana.
Upaya ini sekaligus memperkuat posisi Bali sebagai daerah yang tidak hanya indah secara pariwisata, tetapi juga tangguh menghadapi krisis ekologis di masa depan. (pp05)