JAKARTA | patrolipost.com – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) melantik enam Menteri baru Kabinet Indonesia Maju. Adalah Yaqut Cholil Qoumas, salah seorang yang terpilih menggantikan Menteri Agama (Menag) sebelumnya, Fachrul Razi.
Usai dilantik oleh Presiden Jokowi, di hari kedua dirinya menjabat sebagai Menteri, Yaqut Cholil Qoumas menekankan pentingnya persaudaraan antar umat beragama di Indonesia. /Tangkapan layar Youtube.com/Sekretariat Presiden Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia bakal melakukan afirmasi hak beragama terhadap warga Syiah dan Ahmadiyah di Tanah Air.
Menag Yaqut Cholil Qoumas tak ingin ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halamannya sendiri karena perbedaan keyakinan.
“Mereka warga negara yang harus dilindungi,” kata Yaqut saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (24/12/2020).
Pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu juga menyatakan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) bakal memfasilitasi dialog lebih intensif, hal tersebut guna menjembatani perbedaan yang ada.
“Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi,” katanya.
Pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas tersebut merupakan respons atas permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra agar pemerintah melakukan afirmasi terhadap urusan minoritas. Hal tersebut disampaikan secara daring dalam forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (15/12/2020) lalu.
“Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi,” kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Menurut Azyumardi, afirmasi itu kurang tampak diberikan oleh pemerintah pada kelompok minoritas. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga memberikan contohnya yakni kala pemeluk agama minoritas ingin mendirikan tempat ibadah. Lebih lanjut, dikatakan olehnya bahwa para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram harus mengalami persekusi. Kendati demikian, persoalan intoleran tersebut menurutnya bukan muncul di kalangan umat Islam saja.
“Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah bikin gereja. Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun,” katanya mengungkapkan.
Menurutnya, akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan atau power relation minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.
“Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur begitu, ya (oleh pemerintah). Bagaimana supaya adil,” katanya mengungkapkan. (305/prc)