MATARAM | patrolipost.com – Seorang ibu hamil harus kehilangan bayinya gara-gara telat mendapat pertolongan. Penyebabnya, pihak rumah sakit memintanya agar rapid test dulu sebelum dirawat, sementara ketubannya sudah pecah dan banyak darah keluar.
Nasib mengenaskan dialami Gusti Ayu Arianti (23), warga Pejanggik, Kota Mataram. Arianti yang tengah hamil 9 bulan berencana melakukan persalinan di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Wira Bhakti Mataram. Tiba di rumah sakit, petugas memintanya melakukan rapid test Covid-19 lebih dulu. Petugas tak memeriksanya, padahal air ketubannya telah pecah dan mengeluarkan darah.
“Ketuban saya sudah pecah, darah saya sudah banyak yang keluar dari rumah, tapi saya tidak ditangani, kata petugas saya harus rapid test dulu,” kata Arianti, seperti dikutip Kompas.com Kamis (20/8/2020).
Arianti dan suaminya, Yudi Prasetya Jaya (24) kecewa. Sebab, aturan terkait rapid test Covid-19 sebelum melahirkan tak diberi tahu sejak pemeriksaan kandungan. “Saya itu kecewa, kenapa prosedur atau aturan ketika kami akan melahirkan tidak diberitahu bahwa wajib membawa hasil rapid test,” kata Arianti.
Menurutnya, tak semua ibu hamil yang hendak melahirkan mengetahui aturan tersebut. “Ibu-ibu yang akan melahirkan kan tidak akan tahu ini, karena tidak pernah ada pemberitahuan ketika kami memeriksakan kandungan menjelang melahirkan, ” kata Arianti.
Menurut Arianti, aturan itu tak akan memberatkan jika diberitahu sejak awal. Dirinya pun akan menyiapkan dokumen hasil rapid test beberapa hari sebelum melahirkan. Diminta rapid test Arianti menceritakan kejadian malang yang menimpanya itu.
Awalnya, Arianti merasa sakit perut pada Selasa (18/8/2020) pagi. Ia menduga ketubannya pecah karena cairan yang keluar disertai darah. Arianti bersama suami dan ibunya, Jero Fatmawati, berangkat menuju RSAD Wira Bhakti Mataram. Mereka memilih rumah sakit itu karena putri pertamanya juga lahir di sana.
Tiba di rumah sakit, perut Arianti semakin sakit. Ia meminta petugas jaga di RSAD segera menanganinya. “Saya juga lapor kalau ketuban saya pecah dan ada banyak darah,” katanya. Namun, karena tak ada fasilitas tes cepat, petugas memintanya melakukan rapid test di luar rumah sakit.
“Mereka bilang tidak ada fasilitas rapid test, tapi tidak menyarankan saya rapid test di laboraturium karena akan lama keluar hasilnya,” kata Arianti.
Petugas jaga itu, kata Arianti, menyarankan dirinya melakukan rapid test Covid-19 di puskesmas terdekat.
“Mereka minta saya ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal saya, padahal saya sudah memohon agar dilihat kondisi kandungan saya, bukaan berapa menuju proses kelahiran, mereka tidak mau, katanya harus ada hasil rapid test dulu,” kata Arianti sedih.
Arianti menyayangkan sikap petugas yang sama sekali tak bersedia memeriksanya. Petugas, kata dia, bisa mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap jika khawatir dengan Covid-19. Apalagi, dirinya tak memiliki gejala sakit seperti pasien Covid-19.
Setelah itu, Arianti menuju Puskesmas Pagesangan untuk melakukan rapid test Covid-19. Di puskesmas, Arianti sempat masuk ke ruang bersalin puskesmas dan memohon agar kandungannya diperiksa. Ia juga menjelaskan ada cairan dan darah yang telah keluar. Namun, petugas puskesmas memintanya sabar dan harus melakukan rapid test dulu. Arianti diminta mengikuti antrean untuk tes.
Melihat kondisi istrinya yang semakin lemah, suaminya protes kepada petugas puskesmas. Akhirnya, petugas mengizinkan Arianti mendaftar tanpa mengantre. Setelah menjalani rapid test, hasil diperkirakan keluar dalam 30 menit. Karena kesakitan, Arianti kembali berusaha meminta dokter di ruang bersalin puskesmas untuk mengecek kandungannya.
“Saya bilang waktu itu, dokter bisa tidak minta tolong, bisa tidak saya diperiksa, kira-kira sudah bukaan berapa, apakah saya akan segera melahirkan soalnya sakit, saya bilang begitu. Dokternya tanya, tadi sudah keluar air dan darah, dia bilang belum waktunya tanpa memeriksa saya, saya diminta tunggu hasil rapid test dulu,” kata Arianti.
Meski sudah memohon, tim medis di puskesmas tak bersedia menangananinya karena hasil rapid test Covid-19 belum keluar. Ia pasrah jika sampai melahirkan di puskesmas. Karena tidak tahan, Arianti pulang mengganti pembalut dan meminta ibunya menunggu hasil rapid test di Puskesmas Pagesangan. Keluarganya pun meminta surat rujukan agar bisa ditangani di RSAD Mataram. Tapi, petugas tak bisa mengeluarkan surat rujukan karena Arianti yang sedang mengganti pembalut tak ada di puskesmas.
Memilih ke RS Permata Hati
Setelah memiliki surat hasil rapid test Covid-19 dari puskesmas, keluarga membawa Arianti ke Rumah Sakit Permata Hati. Tiba di RS Permata Hati, surat keterangan rapid test Covid-19 tak diakui karena tak melampirkan alat rapid test Covid-19. Arianti terpaksa melakukan tes ulang. Tim medis RS Permata Hati memeriksa kandungan Arianti. Awalnya, detak jantung janinnya lemah. Tapi, dokter menyebutkan, kandungannya mulai normal.
Arianti lega. Ia mempersiapkan diri menjalani operasi sesar untuk persalinan. Namun nasib berkata lain, setelah perjuangan yang dilakukannya, bayi laki-laki yang hendak diberi nama I Made Arsya Prasetya Jaya itu dinyatakan meninggal sejak dalam kandungan.
Pihak keluarga tak terima jika bayi itu dinyatakan meninggal sejak dalam kandungan. “Kalau memang meninggal tujuh hari lalu, kan akan berbahaya bagi ibunya, anak saya, akan ada pembusukan, tapi ini tidak demikian, bayi itu sama sekali tak berbau busuk, masih segar, seperti layaknya bayi baru lahir, diagnosa dokter inilah yang kami pertanyakan,” kata Ketut Mahajaya, ayah kandung Arianti.
Mahajaya ingin masalah ini ditanggapi serius. Ia tak ingin ada korban lain yang bernasib sama seperti anaknya. Pihak keluarga, kata Mahajaya, tak akan menuntut terkait kasus ini. Ia telah ikhlas. “Tapi kami hanya ingin ada perbaikan ke depannya, tangani dulu pasien, utamakan kemanusiaan, jangan mengutamakan rapid test dulu baru tangani pasien,” jelas Mahajaya.
Tanggapan RSAD Wira Bhakti
Kepala Rumah Sakit ( Karumkit) RSAD Wira Bhakti Kota Mataram Yudi Akbar Manurung tak bisa memberikan penjelasan rinci terkait kasus itu. Namun, Yudi membenarkan, Arianti mengunjungi RSAD Wira Bhakti saat itu.
“Memang awalnya pasien ini ke RSAD, kemudian ke puskesmas kemudian persalinannya di Rumah Sakit Permata Hati, pasien sempat menjelaskan ada cairan yang keluar, masih pada tahap konsultasi belum melakukan pemeriksaan,” kata Yudi saat dikonfirmasi, Kamis (20/8/2020). Sedangkan terkait keluhan kewajiban rapid test Covid-19, Yudi mengatakan, hal itu dilakukan untuk pasien yang akan menjalani rawat inap.
“Petugas kami menjelaskan, karena yang bersangkutan pasien umum, rapid test-nya berbayar, tapi kalau yang gratis di puskesmas dan RSUD Kota Mataram, kita sampaikan begitu dan tidak ada masalah, akhirnya dia ke puskesmas, dari puskesmas kemudian memilih ke Rumah Sakit Permata Hati,” jelasnya.
Penjelasan Kadiskes
Kepala Dinas Kesehatan NTB Eka Nurhandini menjelaskan, rapid test wajib bagi ibu hamil yang hendak melahirkan. Hal itu diberlakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
“Memang dari satgas Covid-19 ada surat edaran yang mengatakan bahwa direkomendasikan ibu-ibu yang akan melahirkan melakukan rapid test. Karena apa? Ibu hamil itu adalah orang yang rentan, yang kemungkinan tertular itu adalah ibu hamil,” kata Eka.
Selain itu, rapid test Covid-19 diperlukan untuk menentukan ruangan yang akan digunakan dan APD yang dipakai petugas saat menangani ibu hamil tersebut. Jika hasil rapid test reaktif, ibu hamil harus dirawat di ruang isolasi, dipisahkan dari pasien lain.
“Kenapa diminta periksa di awal, karena persiapan dan kesiapan untuk proses kelahiran itu lebih prepare. Jika reaktif ibu dan anak akan masuk ruang isolasi, petugas juga begitu akan mengunakan APD dengan level yang tinggi untuk perlindungan bagi petugas,” kata Eka.
Hal tersebut adalah landasan kebijakan dikeluarkannya surat edaran satgas Covid-19 tersebut. Kecuali ada keadaan darurat, maka diharapkan disediakan rapid test. “Ini mungkin jawaban yang bisa saya berikan terkait dengan situasi rapid test bagi ibu hamil dan yang akan melahirkan,” jelas Eka. (kpc/807)