SEMARAPURA | patrolipost.com – Di tengah suasana pandemi Covid-19, umat Hindu, Sabtu (26/9) menyambut dan merayakan Hari Raya Kuningan yang dilaksanakan 10 hari setelah Hari Raya Galungan Rabu (16/9) berlalu, tetap menerapkan disiplin protokol kesehatan dengan menjaga jarak.
Seperti biasa, warga Klungkung utamanya warga Desa Pekraman Gelgel, dan sekitarnya, sebelum lewat tengah hari bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, saniscara Kliwon Tumpek Kuningan yang selalu terjadi tepat datangnya 6 bulan kalender tahun Caka 1941 digelar upakara “Nyaagang”.
Upakara yang digelar ini sebagai bentuk ritual wewantenan bekel saagan, sebagai filosofi ritual mengantar perpisahan para roh leluhur untuk kembali ke alam Nirwana setelah lama di dunia fana ini bersama keluarga tercinta.
Ritual sesajen lebeng matah dan sesajen selengkapnya sebagai wujud acara perpisahan yang dilaksanakan di depan pemesu rumah warga ini yang sudah turun temurun dilaksanakan dalam filosofi Tradisi “Nyaaagang “. Tradisi ini merupakan tradisi yang telah turun temurun dilaksanakan oleh warga di Klungkung utamanya warga se wewengkon Desa Pekraman Gelgel, Klungkung, Bali.
“Upakara Nyaagang ini sebagai bentuk penghormatan pada leluhur, yang sudah sempat mengunjungi keluarga yang ditinggal sejak sugian Jawa dan Bali hingga perayaan Galungan hingga puncaknya di hari Raya Kuningan, setelah sempat bersama-sama selama hampir 16 hari mengunjungi keluarga yang ditinggalkan.
Menurut Budayawan Klungkung Dewa Ketut Soma yang setiap datangnya Kuningan ini, sempat dimintai komentarnya menyatakan ritual gelaran “Nyaagang “ ini merupakan tradisi yang sudah mendarah daging bagi warga masyarakat Klungkung keseluruhan utamanya warga Desa Pekraman yang ada di Klungkung hingga saat ini masih tetap eksis.
Menurutnya ritual “Nyaagang “ ini sebagai upakara ritual berakhirnya pelaksanaan Hari Raya Galungan yang jatuh pada Rabu (16/9/2020) lalu dan puncaknya pada perayaan Hari Raya Kuningan. Arti filosofi ritual perayaan hari kemenangan Dharma melawan A Dharma ini yang diawali dari datangnya Hari Penyekeban, Hari sugian jawa, Hari sugian Bali, Hari Penampahan Galungan, Hari Raya Galungan, Hari Manis Galungan, Hari Penampahan Kuningan dan dipungkasi dengan perayaan Hari Raya Kuningan Sabtu(16/9/2020).
Menurutnya sejak Hari Penyekeban ini warga mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan sang pitare (roh para leluhur-red) masing-masing untuk datang mengunjungi keluarganya yang masih hidup di dunia ini sekaligus ikut merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan bersama sama. Di mana saat perayaan Galungan maupun Kuningan ini masing-masing sanggah merajan maupun di Bale Bali oleh warga setempat digelar soda untuk menjamu roh leluhur dan keluarga wajib menghaturkan bakti kepada beliau leluhur kita (sang pitare-red).
Setelah bersama sama merayakan hari suci Galungan dan Kuningan ini akhirnya puncak ritual yang dimaknai sebagai acara perpisahan ini digelar upakara ritual “ Nyaagang “ di depan pemesu maupun di depan gang rumah warga dengan menggelar wewantenan yang dimaknai berisi bekal (sang pitare mantuk-red) roh leluhur yang kembali akan menuju alam nirwana.
Hal yang sama dikemukakan oleh Jro Mangku Andi (Jro Mangku Alit ) Pemangku Pura Pejenengan Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan. Menurut Jro Mangku yang juga Seniman Topeng Side Karya ritatkala Upakara besar diadakan ini menyebutkan tradisi ini memang tidak termuat dicakepan namun sudah menjadi tradisi turun temurun yang sangat kental bagi warga Klungkung maupun warga diwewengkon Desa Pekraman Gelgel.
“Entah kapan ritual Nyaagang ini dimulai siapapun tidak bisa memastikan secara pastinya karena ini menjadi tradisi warga kita diPekraman Gelgel dan Klungkung,” sebutnya.
Menurutnya tradisi “ Nyaagang” ini yang digelar di depan pemesu pekarangan warga masing-masing ini dilaksanakan sebelum tengah hari pada Hari Raya Kuningan ini bertepatan dengan saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Tradisi ini merupakan waktu yang tepat untuk mengantar roh leluhur kembali ke Nirwana.Yang menarik setelah ritual Nyaagang usai seluruh keluarga langsung makan bersama di tempat tersebut sebagai wujud kebersamaan dan kedamaian.
”Kita berharap sang pitare yang akan kembali akan merasakan kedamaian dan kebahagiaan, dimana semua keluarga yang ditinggalkan setelah kembali ke alam nirwana sudah melihat dan menyaksikan keadaan keluarga yang ditinggalkan dalam keadaan rukun damai dan bahagia serta diberikan kesehatan,” pungkasnya. (855)