SURABAYA | patrolipost.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, menuntut pendeta Hanny Layantara dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. JPU menganggap, terdakwa secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 82 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Juru bicara keluarga korban, Bethania Thenu usai pembacaan tuntutan mengaku bersyukur atas tuntutan tersebut. Dengan tuntutan 10 tahun penjara, dia menilai JPU telah menjalankan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
“Ini bukti hukum kita berlaku untuk semua warga negara. Tidak lepas dia itu siapa. Jika kita melakukan pelanggaran hukum itu ada sanksinya,” katanya, Senin (14/9/2020).
Sebagai perwakilan dari keluarga korban IW, dia berharap nantinya majelis hakim bisa memberi putusan yang bijak. Perjuangan untuk mendapatkan putusan yang adil, kata dia, bukan hanya perjuangan IW, melainkan perjuangan seluruh anak-anak Indonesia yang menjadi korban pelecehan seksual.
“Ini (tuntutan JPU) kami sangat menghargai. Setiap proses penegakan hukum, kami berharap yang terbaik. Kita tinggal lihat bagaimana vonisnya hakim,” tandas Bethania Thenu.
Sementara itu, terkait tuntutan, kuasa hukum terdakwa, Abdurrahman Saleh menyatakan bahwa itu merupakan hak dari JPU. Nantinya, pihaknya akan membuktikan bahwa kliennya tidak bersalah dalam pembelaan. Rencananya, sidang dengan agenda pembelaan akan digelar pada Kamis (17/9/2020).
“Itu hak mereka (JPU) menuntut berapapun atau kebiri dan semacamnya,” ujarnya.
Diketahui, dalam dakwaan jaksa disebutkan, pendeta Hanny Layantara sejak tahun 2008 hingga tahun 2011 diduga telah melakukan perbuatan cabul kepada anak dari seorang pengusaha di Surabaya. Anak dari pengusaha tersebut dititipkan di sebuah gereja di Surabaya. Pencabulan yang dilakukan terdakwa dilakukan di lantai empat ruang kerja terdakwa di gereja. (305/snc)