BORONG | patrolipost.com – Pabrik batu pecah golongan C diduga beroperasi ilegal di Desa Uluwae, Kecamatan Lamba Leda Timur, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Masyarakat mengaku tidak nyaman dengan suara bising dan debu dari pabrik tersebut karena letaknya dekat dengan pemukiman warga. Alat pemecah batu (Stone Crusher) tersebut salah satunya diduga milik Kepala Desa setempat.
“Ada dua alat pemecah batu yang sering beroperasi di desa ini Pak. Yang satu milik Pak Kades dan satu lagi milik ibu Emerensi Ana,” ungkap warga yang tidak ingin namanya diberitakan, Rabu (15/09/2021).
Selain diduga belum mengantongi izin, letak pabrikasi batu pecah golongan C itu, sangat dekat dengan pemukiman warga sehingga menimbulkan bising, berdebu dan mengganggu. Karenanya, warga meminta pemerintah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Polres Matim untuk melakukan penertiban.
Sementara itu Kepala Desa Ulu Wae, Fransiskus Hardi mengaku usaha pabrik pemecah batu golongan C tersebut adalah miliknya.
“Iya, pabrik pemecah batu itu milik saya dan kami mengaku belum kaji dampak lingkungan. Selain itu belum ada izin dari DLH karena baru dioperasi dua minggu,” kata Fransiskus.
Sedangkan Emerensi Ana, yang juga salah satu pemilik alat pemecah batu “Stone Crusher” mengatakan bahwa usaha penambangan pemecah batu miliknya belum memiliki izin. Ia berjanji dalam waktu dekat akan mengurus dokumen perizinan.
“Dalam waktu dekat, kami akan urus dokumene izinnya, selama ini alat pemecah batu rusak. Sudah lama rusak Pak. Memang sejak tahun 2020 usaha penambangan batu beroperasi,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Manggarai Timur Donatus Datur mengaku belum mengetahui adanya aktifitas proyek pemecah batu golongan C di desa tersebut.
“Pabrik stone crusher tersebut hingga saat ini belum dilaporkan ke kita, apalagi urus dokumen Amdal,” kata Donatus.
Donatus menambahkan, aktivitas produksi pemecah batu yang tidak memiliki izin jelas sudah melanggar beberapa aturan perundangan. Dasar hukumnya kata Datur adalah PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selanjutnya Donatus menjelaskan, setiap kegiatan yang berdampak lingkungan harus ada izin lingkungan. Dokumen lingkungannya berupa Amdal untuk usaha dan kegiatan yang berdampak penting, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan untuk usaha dan kegiatan yang berdampak sedang. Sedangkan kegiatan yang berdampak kecil atau ringan dokumen lingkungan hanya dibutuhkan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).
Donatus menambahkan pihaknya akan mengambil langkah untuk menyurati pelaku usaha dan tembusan kepada kepala desa yang bersangkutan untuk menghentikan sementara kegiatan tersebut sambil mengurus dokumen perizinan. (pp04)