DENPASAR | patrolipost.com – Selama 4 hari (dari 8 – 11 Desember 2021) sebanyak 56 pengurus dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau melakukan studi jurnalistik ke Bali. Rombongan jurnalis Bumi Lancang Kuning ini mengunjungi objek-objek wisata ikonik di Pulau Dewata sambil memotret dan merekam kondisi masyarakat dan pariwisata Bali setelah dilanda pandemi Covid-19, kemudian menulisnya di media masing-masing.
Kisah Nyoman Budiarta (46), pria asal Singaraja yang memandu rombongan berkeliling paling banyak muncul di media cetak dan online di Riau. Nasib Pak Nyoman yang terombang-ambing oleh gelombang pandemi sangat ‘seksi’ mewakili puluhan ribu pekerja sektor pariwisata Bali.
Selama dua tahun sejak pandemi Pak Nyoman tidak bekerja. Padahal sebagai guide, dia punya keahlian khusus menguasai bahasa Jepang dan Inggris. Pekerjaan ini telah dilakoninya selama 25 tahun. Baru Oktober 2021 dapat job dan kedatangan rombongan PWI Riau ke Bali, job kedua baginya selama masa pandemi. Demikian wartawan Riau menulis di salah satu media online.
Bekerja sebagai tour guide freelance tidak ada gaji bulanan. Tergantung berapa kali mengantar wisatawan. Setelah mengalami masa-masa sulit itu, Pak Nyoman memutuskan balik kampung. Dia berasal dari Bali Utara, tepatnya Singaraja, Buleleng. Nyoman Budiarta beralih profesi sebagai petani.
Menurut Pak Nyoman ada sekitar 8.000 orang tour guide di Bali yang lebih kurang bernasib sama. Mereka menguasai berbagai macam bahasa di antaranya; bahasa Jepang, Inggris, Itali, Rusia, Jerman, Prancis, Arab, Spanyol, Mandarin dan Belanda. Kini mereka beralih profesi di luar keahlian mereka, dan terus berharap pulihnya pariwisata Bali.
“Kalau ada yang mengira kalian membuang uang karena datang ke Bali, itu keliru. Kalian memberi kami harapan untuk keluar dari tekanan ekonomi yang sangat berat,” kata Pak Nyoman kepada rombongan yang dipandunya.
Bukan Rengekan Anak Manja
Keluh kesah masyarakat Bali yang disiarkan media massa terkait dampak pandemi Covid-19, bukanlah ‘rengekan anak manja’ namun benar-benar nyata. Virus Covid-19 yang menyebar sejak 2 Maret 2019 membuat semua sendi kehidupan masyarakat Bali goyah. Kini, pariwisata Bali berusaha bangkit lagi melalui momen libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 (Nataru).
“Kondisi Bali saat ini sangat kontras dengan situasi sebelum pandemi Covid-19. Pariwisata dan perekonomian Bali benar-benar goyah,” ujar H Dheni Kurnia, mantan Ketua PWI Riau yang kini jadi Staf Khusus Gubernur Riau Bidang Komunikasi.
Dheni mengaku sudah sering ke Bali, tapi hanya sehari dua hari berupa kunjungan kerja sehingga tidak sempat berekreasi seperti kunjungan kali ini. Setelah mendatangi sejumlah objek wisata di Badung, Denpasar, Tabanan, Klungkung dan Gianyar ternyata Bali benar-benar menderita akibat pandemi. Hampir semua objek wisata yang dikunjungi sepi. Hanya ada beberapa wisatawan domestik.
“Saya telusuri jalan-jalan di Legian. Toko-toko banyak yang tutup. Padahal sebelum pandemi, Legian bergeliat 24 jam. Beragam suku bangsa ada di kawasan ini, dari pagi sampai pagi berikutnya. Kini hanya beberapa wisatawan domestik tampak hilir mudik di sini,” kata pria tambun yang juga seniman ini.
Berikut tertimoni dan sumbang saran beberapa jurnalis Riau untuk pemulihan pariwisata Bali:
Zulmansyah Sekedang, Ketua PWI Riau
Pandemi Covid-19 memang memukul rontok perekonomian Bali karena sangat tergantung sektor pariwisata. Sudah lebih dari dua tahun masyarakat Bali menjalani masa sulit, namun mereka tetap bertahan. Aktivitas tetap berjalan, begitu juga kegiatan keagamaan. Masyarakat Bali tetap melaksanakan ibadah dan melakukan persembahan kepada alam dan Hyang Widhi Wasa. Keramahtamahan mereka kepada tamu tak berubah.
Dibanding provinsi lain, Bali merupakan provinsi pertama yang akan bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Ini karena kepatuhan masyarakat Bali mengikuti aturan pemerintah terkait PPKM dan penerapan Protokol Kesehatan (Prokes). Selain itu, wisatawan domestik dan mancanegara tetap menganggap Pulau Dewata sebagai kiblat pariwisata dunia.
Zufra Irwan, mantan Sekretaris PWI, kini Ketua Komisi Informasi (KI) Riau
PWI Bali sengaja mengunjungi Bali di tengah pandemi ini untuk mengetahui langsung kondisi pariwisata Bali. Sekaligus untuk memancing rekan-rekan PWI di seluruh Indonesia agar datang ke Bali. Kami dari Riau berani datang ke Bali, mengapa PWI yang lain tidak berani?
Ekonomi masyarakat Bali sangat tergantung kepada kedatangan wisatawan. Kalau saat ini belum ada kunjungan wisatawan mancanegara karena berbagai pembatasan oleh pemerintah, maka ekonomi Bali bisa dibantu oleh kunjungan wisatawan domestik. Mari berwisata menikmati eksotisme Bali sambil membantu perekonomian masyarakat Bali.
Rosyita Hasan, Pemimpin Redaksi Majalah Outsiders
Saat naik bus dari Bandara I Gusti Ngurah Rai menuju hotel di kawasan Kuta, saya melihat di kiri kanan jalan toko-toko dan tempat usaha tutup. Di dindingnya terpampang spanduk atau papan bertuliskan “disewakan” atau “dijual”. Pandemi betul-betul meluluh-lantakkan perekonomian Bali sehingga banyak usaha tutup, terutama yang berhubungan dengan sektor pariwisata.
Masyarakat Bali menjerit akibat pandemi Covid-19 ternyata bukan ‘rengekan anak manja’, tapi benar-benar terjadi selama lebih dari 2 tahun sampai sekarang. Puluhan ribu pekerja pariwisata dirumahkan, bahkan di-PHK.
Rombongan kami selama 4 hari mengunjungi sejumlah objek wisata di Bali. Mulai dari Pantai Kuta, Pura Uluwatu, Pantai Pendawa (Badung), Istana Tampaksiring, Tirta Empul (Gianyar), Pura Ulun Danu dan Tanah Lot (Tabanan). Semua objek yang dikunjungi memiliki daya tarik sendiri-sendiri yang tidak dimiliki provinsi lain di Indonesia. Di seluruh objek wisata itu, wisatawan domestiknya lumayan ramai. Tapi memang tidak ada turis mancanegara.
Menyadari bahwa mereka tergantung kepada tamu (turis), masyarakat Bali sangat menghormati tamu. Mereka sangat ramah. Mereka juga disiplin dalam menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes). Ini bisa dirasakan ketika kita memasuki lokasi kuliner. Karyawan restoran atau kafe meminta pengunjung untuk mencuci tangan, lalu cek suhu tubuh sebelum duduk di kursi yang sudah ditata letaknya sesuai aturan social distancing.
Kebetulan pada saat rombongan kami tiba di Bali dan menginap di Kuta, malam sebelumnya ada gelombang pasang disertai sampah kiriman ke Pantai Kuta dan sekitarnya. Ketika kami main di pantai, sampah-sampah ini masih berserakan. Ini sangat ironis, sebab Pantai Kuta dikenal sebagai pantai yang indah di seluruh dunia, tapi kenyataannya sangat kotor.
Semestinya ada kesadaran dari seluruh stakeholder dan pemangku kepentingan untuk membersihkan sampah itu secara swadaya. Tidak mesti menunggu pemerintah turun tangan melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
Helfizon Assyafei, Redaktur Pelaksana Harian Riau Pos
Malam tadi (Kamis 9/12/2021, red) kami menelusuri jalan Legian Kuta Bali. Jalan yang dulu tak pernah tidur, hingar bingar oleh music house, bule yang berlalu lalang, cafe, bar, pub, diskotik tak pernah diam sepanjang malam hingga subuh.
Tapi kini setelah 2 tahun dihantam pandemi Covid-19 hampir semuanya ‘tidur’. Ratusan ruko, kios souvernir, kios tatto, bahkan gerai ATM tutup. Di jalanan hanya satu dua kendaraan.
Hanya pub yang besar seperti Paddy Cafe, Vi ai Pi dan beberapa lainnya yang masih buka. Tapi itu pun dengan pengunjung yang tidak sepadat dulu. Semoga pandemi ini segera berlalu sehingga ekonomi Bali bangkit lagi.
Armazi Yendra, Wartawan Pekanbaru MX
Ada yang sangat menarik di Bali. Di balik keindahan alam dan budayanya yang mendunia, masyarakat Bali ternyata sangat ramah dan bersahabat dengan para wisatawan yang berkunjung. Orang Bali sangat santun, ramah dan bersahaja.
Saat pandemi, rombongan PWI Riau sengaja mendatangi kepingan surga yang ada di bumi ini. Sedikit banyaknya bisa berkontribusi membantu pendapatan pelaku pariwisata, mulai dari akomodasi, transportasi, sampai pedagang kecil. Kita berharap liburan Natal dan Tahun Baru jadi tonggak bangkitnya pariwisata Bali, diawali dengan ramainya kunjungan wisatawan domestik ke Bali. (izarman)