LABUAN BAJO | patrolipost.com – Dalam Lonto Leo (musyawarah) dengan masyarakat adat Wae Sano kali ini, pemerintah Kabupaten Manggarai Barat berkesempatan menyampaikan pandangan terkait proyek geothermal Wae Sano. Pemerintah menepis tudingan bahwa proyek ini dipaksakan.
Menurut Sekda Manggarai Barat Fransiskus S Sodo, pada prinsipnya pemerintah dalam posisi memfasilitasi. Selain itu, dalam perspektif pemerintah, membangun lazimnya karena didasari adanya potensi di suatu wilayah.
“Dalam perspektif pemerintah, pembangunan diarahkan sebesar-besarnya untuk sejahterakan masyarakat, baik fisik, sosial, budaya, SDM, dan sebagainya. Membangun itu tentu berangkat dari potensi sumber daya,” ucapnya.
Ia mencontohkan Labuan Bajo sekarang yang jauh berbeda dengan 4 atau lima tahun lalu. Pemerintah pusat bahkan menetapkan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium, karena ada potensi pariwisata yang besar yang perlu dikelola secara baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Jadi pemerintah membangun karena ada potensi sumber daya. Begitu juga di Wae Mbeliling, ada sumber daya air. Demikian halnya dengan geothermal Wae Sano, yang dalam perspektif pemerintah geothermal memiliki sumber energi ramah lingkungan,” tegas Fransiskus S Sodo.
Adapun ahli antropologi yang juga penasihat senior kantor staf Presiden, Yando Zakaria, dalam Lonto Leo tersebut memaparkan rincian program IPP Proyek Geothermal Wae Sano.
“Dalam dokumen IPP ini, ada 15 langkah yang wajib dilakukan sebelum pengeboran. Setiap langkah kegiatan yang akan terjadi, akan dikonsultasikan dalam forum lonto leo seperti ini,” jelasnya.
Terkait suara masyarakat yang menyesalkan terkatung-katungnya proyek ini, Yando Zakaria menjelaskan, sesungguhnya ada niat pemerintah maupun belum juga melaksanakan proyek ini. Semula, menurut dia, terjadi dinamika atau perbedaan pendapat. Hal itu dibuktikan dengan adanya Surat Keuskupan Ruteng ke Bank Dunia, yang intinya menolak proyek geothermal Wae Sano.
Sebagai dampaknya, Bank Dunia saat itu menghentikan rencana eksplorasi geothermal Wae Sano. Namun sejak tahun 2019, Bank Dunia kembali memberikan ‘lampu hijau’ untuk proyek ini, dengan syarat yang ketat. Salah satu catatan Bank Dunia adalah wajib melibatkan masyarakat adat.
Atas dasar itu, selama 1,5 tahun belakangan, proses dimulai dari bawah terutama untuk mengetahui substansi pendapat masing-masing pihak, baik yang mendukung maupun menolak.
“Tidak hanya yang menolak, tapi yang mendukung juga dilihat dan didalami selama 1,5 tahun terakhir ini,” beber Yando Zakaria.
“Dokumen IPP ini adalah salah satu kunci, apakah proyek ini jalan terus atau setop. Dokumen ini bukan final, tapi dokumen hidup. Dokumen ini harus ada, karena Bank Dunia sangat menghormati masyarakat adat,” imbuhnya.
Hasil Lonto Leo ini, selanjutnya akan disampaikan kepada Bank Dunia. Nantinya Bank Dunia yang akan memutuskan nasib masa depan proyek ini.
“Kalau dokumen IPP ini sudah, serta hasilnya, maka kita sampaikan ke Bank Dunia. Kita harus sampaikan secara jujur kepada pemilik dana apakah proyek ini mendapat ‘dukungan luas dari masyarakat’,” kata Yando Zakaria.
“Nanti mereka yang menilai. Kalau dokumen ini diterima Bank Dunia, maka langkah selanjutnya bisa jalan. Tetapi kalau dokumen ini ditolak, maka langkah selanjutnya jelas tidak bisa dilaksanakan,” pungkasnya. (334)