Pemprov Bali Ambigu Soal Kawasan Konservasi Teluk Benoa

DENPASAR | patrolipost.com – Kawasan Teluk Benoa ditetapkannya sebagai kawasan konservasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti melalui Keputusan No 46/KEPMEN KP/2019. Namun jika merujuk kepada UU No 5 tahun 1990 yang mengatur tentang konservasi sumber daya alam, hayati dan ekosistem, sebagai kawasan konservasi, sejatinya tidak boleh ada lagi aktivitas apapun di kawasan itu.

Namun fakta yang ada sekarang di kawasan itu ada pelabuhan, aktivitas sport water, hutan mangrove bahkan tol Bali Mandara dibangun di atas laut.

“Hutan Manggrove yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi saja masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti bisnis ilegal,” ujar penggiat lingkungan, Lanang Sudira yang dihubungi melalui selulernya, Selasa (15/10).

Lanang Sudira justru bertanya kepada Pemerintah Provinsi Bali, paham tidak dengan maksud kawasan konservasi, padahal penetapan kawasan konservasi itu sudah lama.

Ia tegaskan penetapan kawasan konservasi mesti disikapi dengan tindakan tegas pemerintah daerah terhadap bisnis yang ada di sekitar kawasan Teluk Benoa.

“Coba lihat itu jalan tol yang masuk di kawasan konservasi, masih gagah berdiri di sana. Bagaimana pemerintah akan mengambil sikap, belum lagi wisata bahari di kawasan Teluk Benoa,” sebutnya.

Menurutnya, Teluk Benoa luasnya 3.150 hektar. Dipotong untuk Pelabuhan Benoa 450 hektar, luas hutan Manggrove 1.300 hektar dan sekarang luas perairan lautnya 1.400 hektar. Menurutnya di Bali orang hanya berteriak konservasi tapi tidak memahami apa itu konservasi dengan sebenarnya.

“Saya melihat pemerintah kurang paham soal ini, justru kesannya ambigu, akibatnya terjadi tarik ulur,” tandasnya.

Lanang Sudira yang mengaku pernah belajar konservasi di Singapura hampir 2 bulan pernah juga mengunjungi kawasan konservasi di pesisir Lampung Barat, Kecamatan Bengkulat Provinsi Lampung, luasnya 48 ribu hektar.

“Pelanggaran terhadap kawasan konservasi sudah ada yang ditindak akibat mancing di kawasan konservasi di Toyopakeh, Nusa Penida,” katanya mencontohkan.

Lantas ia juga menyebutkan para pejabat terkait baik di pusat ataupun daerah sebaiknya memahami lagi UU No 5 Tahun 1990 barulah mengambil kebijakan, bukannya saling silang pendapat.

“Klausul-klausul atau pasal demi pasal pahami dulu, baru mengeluarkan kebijakan. Terus terang saya sebagai LSM Lingkungan malah tertawa melihat kondisi yang terjadi,” sentilnya.

Gonjang ganjing ditetapkannya Teluk Benoa sebagai kawasan reklamasi sebetulnya dipicu adanya rencana reklamasi Teluk Benoa yang disebut batal dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti (Kepmen) Nomor 46/KEPMEN-KP/2019 yang menjadikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Dalam KEPMEN itu menyebutkan luas lahan yang akan dijadikan kawasan konservasi yaitu 1.543,41 hektar. Nantinya, kawasan tersebut akan dikelola sebagai daerah perlindungan budaya maritim. Luas KKM-nya adalah 1.543,41 hektar yang akan dikelola sebagai daerah perlindungan budaya maritim.

Akibat keluarnya KEPMEN Susi tersebut, yang awalnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan enggan berkomentar, akhirnya bersuara juga.

Seperti yang dilansir dari pernyataan Menteri Luhut di beberapa media ia mengatakan, Presiden itu tidak pernah mau membatalkan pendahulunya. Jadi jangan orang menyudutkan Presiden untuk mengubah Perpres pendahulunya dan itu clear.

Menurut Luhut, Presiden Jokowi tak akan mengubah Perpres yang ditetapkan pendahulunya karena dinilai sebagai perbuatan yang tidak baik. Ia mengungkapkan, hingga saat ini pemerintah masih akan menjalankan rencana sesuai dengan Perpres.

Dari tempat terpisah Ketua Umum Badan Independent Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) Komang Gede Subudi yang dihubungi melalui selulernya, beranggapan Perpres No 51 Tahun 2018 bukan hanya untuk Bali tapi menyangkut tempat lain di Indonesia. Namun dijelaskan ada kebijakan turunannya seperti Menteri Susi yang telah mengeluarkan keputusannya dan kemudian direspon oleh Gubernur Bali, bahkan tempat lain sepengetahuannya juga terjadi seperti itu.

“Jadi ini bisa dikatakan suatu kebijakan demi kepentingan suatu daerah. Karena di Bali kepentingannya konservasi, maka konservasi itulah yang menjadi tujuan,” tuturnya.

Ia beranggapan keputusan Menteri Susi sudah dipikirkan matang-matang agar tidak mencederai Perpres itu sendiri. Subudi sependapat apa yang menjadi keputusan Menteri Susi ataupun Gubernur Bali supaya tidak “saklek” dalam pelaksanaannya.

“Bukankah di kawasan itu sudah ada berbagai aktivitas, ini yang sebenarnya ditatakelolakan, jadi jangan saklek lah,” ujarnya sembari berujar yang tidak diinginkan sebenarnya jangan sampai kawasan konservasi itu ditiadakan sama sekali.

“Bisa saya katakan tidak elok rasanya Perpres itu dicabut, itu bisa jadi preseden buruk pemerintah. Yang penting bagaimana Perpres itu digunakan untuk kemaslahatan orang banyak,” pungkasnya. (473)

Pos terkait