DENPASAR | patrolipost.com – Diakuinya tanah Laba Pura Sad Kahyangan Penida seluas 13 hektare yang berlokasi di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida oleh Pemerintah Provinsi Bali, membuat gerah 4 desa adat yang menjadi pengempon pura, termasuk Prajuru Pura Sad Kahyangan Penida. Keempat desa adat itu yakni Desa Adat Sakti, Desa Adat Sompang, Desa Adat Bungan Mekar, Desa Adat Pundukkaha Kaja.
Musababnya, tanah yang awalnya merupakan laba pura itu tiba-tiba sudah berpindah tangan dan dikontrak oleh salah satu perusahaan pengembang yaitu PT Empora Dana Laksmi seluas 10 hektare yang disinyalir bekerjasama dengan Pemprov Bali dengan masa kontrak yang sangat lama, tanpa adanya pemberitahuan kepada pengempon Pura Sad Kahyangan Penida.
“Padahal lahan tersebut sesungguhnya milik laba pura,” ujar Ketua Pembangunan Pura Sad Kahyangan Penida, I Wayan Tiasa, Minggu (22/9/2019) sore di Denpasar.
“Kami menggugat tanah tersebut dikembalikan seperti semula, karena lahan itu sudah ada sejak leluhur kami,” tegasnya.
Menurut Tiasa, pihaknya sudah pernah melayangkan surat permohonan kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk mengembalikan status tanah yang diketahui sudah disertifikasi atas nama pemerintah dan sekarang menjadi aset pemerintah provinsi.
“Terus terang kami ini orang awam, yang pekerjaan kami sehari-hari hanya sebagai petani. Kok tiba-tiba tanah itu menjadi aset pemerintah. Apalagi itu tanah laba pura,” ucapnya terheran-heran.
Wayan Tiasa yang datang jauh-jauh dari Nusa Penida bersama para keempat bendesa adat dan perwakilan warga pada prinsipnya meminta kepada Gubernur Bali I Wayan Koster selaku pimpinan tertinggi di Provinsi Bali untuk membuka hati menyadari status tanah tersebut dikembalikan seperti semula yaitu Laba Pura Sad Kahyangan Penida.
“Pada intinya lahan yang ada disana itu ‘duwe pura’ termasuk Pura Sad Kahyangan Penida,” tukasnya.
Tiasa dalam kesempatan itu mengingatkan, bahwa Pura Sad Kahyangan itu keberadaannya merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah, apalagi Pura Sad Kahyangan Penida itu sudah ada mengawali terbentuknya Nusa Penida.
“Jadi kalau dipikir secara akal sehat, sejak kapan pemerintah Provinsi Bali memiliki tanah di sana apalagi dalam bentuk asset,” katanya bertanya.
Salah seorang tokoh masyarakat Nusa Penida, I Wayan Muka Diana yang juga hadir mendampingi para bendesa dan warga pada kesempatan ini juga menimpali, apa yang sudah disampaikan Wayan Tiasa dengan mengatakan, dirinya sudah mendengar aspirasi dari 4 desa adat dan 8 banjar adat khususnya pengempon Pura Sad Kahyangan Penida dan merasa prihatin dengan kondisi yang ada.
“Saya sangat mendukung langkah yang dilakukan oleh pengempon pura untuk meminta kembali hak dari Pura Sad Kahyangan Penida yaitu berupa laba pura,” katanya seraya menegaskan, apa yang disampaikan Wayan Tiasa selaku Ketua Panitia Pembangunan sangatlah logis dari kronologis sebagai suatu fakta perjalanan Pura Sad Kahyangan Penida.
Diakui masyarakat Nusa Penida yang notabene pekerjaannya hanya sebagai petani atau nelayan, memiliki keterbatasan baik kemampuan, pengetahuan ataupun biaya untuk membuat legalitas.
“Tapi yang mesti dicatat bahwa masyarakat pengempon pura ini punya prinsip yang sangat kuat jika 13 hektare lahan itu merupakan laba pura,” tandasnya. (arw)