DENPASAR | patrolipost.com – Siloam Hospitals Bali kembali mengingatkan akan pentingnya masyarakat lebih mengenal penanganan epilepsi dan tidak memberikan stigma buruk bagi penderitanya.
“Karena dengan lebih mengenal Epilepsi, tentu akan turut mendorong keluarga penderita lebih terbuka terhadap penanganan yang lebih tepat,” jelas Dokter Spesialis Saraf, I Gusti Ayu Made Riantini, dalam peringatan Hari Epilepsi Sedunia atau World Purple Day yang digelar oleh Siloam Hospitals Bali pada Selasa, 26 Maret 2024 lalu.
Dokter Riantini menjelaskan, Epilepsi merupakan keadaan dimana aktivitas sel saraf di otak terganggu, yang menyebabkan munculnya bangkitan kejang. Gangguan pada sel listrik di otak yang berlebihan ini dapat menimbulkan serangan berulang /perubahan tingkah laku yang bersifat sementara.
Epilepsi dapat terjadi sebagai akibat dari kelainan genetik atau cedera otak yang dialami, seperti trauma atau stroke.
“Faktor risiko lainnya antara lain usia, genetik, cedera kepala, kejadian kejang demam, autoimun dan tumor otak,” jelas dr Riantini.
Menurutnya, penderita epilepsi terdata sebanyak 65 juta penduduk di dunia, 1 dari 100 orang dan di Indonesia terdapat 150 ribu kasus pertahun.
“Secara spesifik, 50 persen penyebab epilepsi tidak diketahui,” imbuhnya.
“Pasien epilepsi sembuh ketika setelah lima tahun tidak memakai obat dan tidak kejang,” kata dr Riantini.
dr Dewa Putu Wisnu Wardhana MD PHd FICS FINSS (Neurosurgeon) menjelaskan modalitas yang dapat digunakan dalam deteksi epilepsi dan penyebabnya, antara lain, Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG).
EEG merekam aktifitas elektrik sportan dari otak, selama periode tertentu (30 menit), dari elektrode yang dipasang di kulit kepala.
“Pemeriksaan kedua melalui MRI pada kepala. Hal ini untuk menilai anatomi otak dan menyingkirkan kelainan otak lain sebagai penyebab epilepsi,” jelas dr Dewa Putu Wisnu.
Penyembuhan umum dilakukan melalui pemberian obat anti kejang yang diminum sesuai jenis kejang, usia, jenis kelamin dan kondisi metabolik.
“Dimulai dengan satu macam obat dosis terendah dan diminum secara teratur,” jelasnya.
Sementara itu, Dokter Bedah Saraf Siloam Group Dr dr Made Agus Mahendra Inggas SpBS menjelaskan, metode penanganan yang lebih advance untuk mengatasi epilepsi antara lain dengan melakukan Terapi VNS dan DBS.
VNS terapi yang juga disebut stimulasi saraf vagus telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sebagai terapi tambahan untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 4 tahun ke atas. VNS untuk mengobati kejang fokal atau parsial yang tidak merespons obat kejang.
“Ini disebut epilepsi yang resistan terhadap obat atau epilepsi refrakter,” kata Dr dr Made Agus Mahendra Inggas Sp BS.
Stimulasi Saraf Vagus (VNS) dapat mencegah atau mengurangi kejang dengan mengirimkan energi listrik ringan dan teratur ke otak melalui saraf vagus.
Sementara itu terapi stimulasi otak dalam (Deep Brain Stimulation) atau DBS merupakan penggunaan alat untuk membantu mengendalikan kejang.
“Dilakukan pembedahan untuk memasang alat tersebut, kemudian diprogram di klinik rawat jalan oleh dokter spesialis epilepsi,” jelas dr Inggas.
Dikelaskan dr Inggas, pembedahan dilakukan dengan melihat gangguan pusat titik lokasi kelistrikan di otak pasien.
“Metode ini tentu dipilih berdasarkan indikasi yang sangat kuat dengan mempertimbangkan risiko dan benefit yang bisa dialami oleh pasien,” imbuhnya.
Data kunjungan Pasien Epilepsi di Siloam Hospital Bali periode 2018 hingga 2023 terus mengalami kenaikan. Pada 2018 terdapat 442 pasien, 2009 sebanyak 981 pasien, 2010 yang terus mengalami kenaikan sebanyak 1.593 dan data terakhir yaitu di tahun 2023 sejumlah 3.510 penanganan dan kunjungan. (pp03)