RANA LOBA | patrolipost.com – Selama ini tempat asal bawang merah yang terlintas di pikiran orang Manggarai umumnya adalah Reo, Pota atau tempat lain di Pantai Utara Manggarai. Sejak dulu, beberapa tempat di Pantura telah menjadi daerah asal pemasok bawang merah di Manggarai. Selain daerah Pantura, Wilayah Bima di Nusa Tenggara Barat (NTB) juga diketahui jadi daerah asal bumbu dapur satu ini.
Lantas, apakah daerah selain wilayah Pantura tidak bisa menghasilkan bawang? Pertanyaan gugatan ini awalnya memotivasi Kanisisus Bas, Warga Dusun Golo Ntoung, Kelurahan Rana loba, Kecamatan Borong, Manggarai Timur.
Kani sapaan akrabnya, mulai menggeluti budidaya bawang merah sejak 3 tahun lalu. Bermodal lahan sewaan dan tekad kuat, dia dan beberapa petani lain mulai menanam bawang merah meski minim ilmu dan pengalaman.
“Awalnya hanya mencoba saja, ternyata hasilnya lumayan bagus,” kata Kani, Sabtu (25/7/2021).
Pria 42 tahun ini berkisah, lahan tempat mereka menanam bawang merah merupakan lahan sawah. Namun karena kebutuhan hortikultura yang tinggi di Kota Borong, lahan itu mereka sulap menjadi tempat aneka sayuran, termasuk membudidayakan bawang merah.
“Dulunya di situ sawah tapi setelah kami hitung-hitung sepertinya rugi kalau terus dikembangkan. Kami coba terapkan sistem tanam dengan pola rotasi, jadi jenis sayur yang kita tanam terus bergantian,” ungkap Kani.
Dengan pola rotasi ini dia dan teman-temannya lalu memulai membudidayakan bawang merah. Kesulitan awal diakui ayah 6 anak ini adalah mendapatkan benih yang unggul. Setelah mencari informasi, mereka lalu mendapatkan informasi jika benih bawang dijual di Ruteng.
Dengan pengetahuan yang dia dapat, budidaya bawang merah ini diawali dengan persemaian benih. Persemaian dilakukan selama 45 hari. Setelah itu, berlanjut ke proses menanam pada bedeng yang telah digembur.
“Tugas berat dimulai saat persemaian dilakukan, karena katanya persemaian itu kunci untuk tahap selanjutnya, harus terus dikontrol terus sebelum mulai tanam,” ujarnya.
Saat penanaman perdana, Kani dan teman-temannya menemukan berbagai masalah. Tidak semua yang ditanam membuahkan hasil. Hama rupanya menjadi masalah klasik semua tanaman hortikultuta.
Meski demikian setelah dia dan teman-temannya tidak patah arang untuk terus bergelut dengan bawang merah.
“Pernah saat mau panen tiba-tiba hama serang dan kami gagal panen,” imbuhnya.
Setelah terus menekuni persoalan yang ia temukan selama budidaya bawang merah, dia mengaku bisa perlahan mengantisipasi bencana yang menerpa tanamannya. Pundi-pundi rupiah pun ia dapatkan dari hasil kerja yang awalnya sekadar mencoba. Dari lahan 20X50 meter persegi ia mengaku pernah memanen hingga 500 kg bawang merah.
“Saya dapat setengah ton (500kg) itu dengan memanfaatkan separuh lahan yang saya sewa. Kalau saya maksimalkan semua lahan, hasilnya pasti di atas satu ton. Dari hasil 500kg itu saya dapat omset sepuluh juta rupiah dengan menjual Rp 20 ribu per kilo. Kalau saya bandingkan dengan urus padi, hasilnya jauh sekali. Urus padi itu saya rasa rugi, sementara kebutuhan bawang kita terus naik di pasar,” katanya.
Uniknya, biji bawang yang dihasilkan oleh Kani bersama teman-temannya memiliki ukuran biji yang lebih besar dari bawang merah umumnya dijual di pasar. Dengan hasil yang sangat signifikan itu, Kani bersama para petani lain seperti Yosep Nonce dan Damianus Jelahur bekerja lebih serius membudidayakan bawang merah.
Meski demikian, susahnya akses benih dan alat penunjang masih menjadi kebutuhan yang belum terpenuhi. Dia berharap ada pihak khususnya Pemerintah mendukung usaha mereka.
“Mungkin tidak muluk-muluk, karena kami juga sudah sering meminta bantua Pemerintah Daerah namun tak kunjung datang. Selama ini pemerintah melalui PPL menurut kami membantu, kami harap pemerintah membantu kami mempromosikan bawang yang kami hasilkan,” tutup Kani. (pp04)