JAKARTA | patrolipost.com – Penetapan Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar (TB) sebagai tersangka perintangan penyidikan kasus korupsi timah mengundang reaksi pakar hukum dan tokoh pers. Mereka menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) RI kebablasan karena memidanakan TB tanpa melalui mekanisme yang diatur UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pakar hukum pidana pada Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, sebelum menetapkan TB sebagai tersangka karena pemberitaan yang dianggap negatif dan merintangi penyidikan, Kejagung semestinya memberikan hak jawab sebagaimana diatur UU Pers.
“Menurut saya ini bablas, nih. Belum ada mekanisme Undang-undang Pers itu dilakukan, Kejaksaan sudah langsung memidanakan TB. Ini yang menurut saya agak kebablasan,” kata Fickar dalam program Obrolan Neswroom Kompas.com, Selasa (22/4/2025).
Fickar menjelaskan, profesi tertentu seperti pers memiliki aturan mainnya tersendiri yang tercantum dalam UU Pers. Ketika pers dianggap melakukan satu tindakan yang merugikan orang lain, baik secara perdata maupun secara pidana melalui pemberitaannya, maka orang tersebut bisa meminta hak jawab kepada redaksi media sebelum menempuh jalur pidana.
“Dalam pers itu ada Undang-undang Pers. Yang mestinya digunakan oleh semua pihak, siapapun, yang merasa disudutkan, yang merasa dijelek-jelekan oleh pers. Pers itu harus memberikan kesempatan untuk pihak yang merasa dirugikan mengajukan jawaban. Itu mestinya mekanismenya seperti itu,” ujar dia.
Fickar menyebutkan, jalur hukum baru dapat ditempuh setelah masalah tersebut ditangani oleh Dewan Pers. Namun, dalam kasus ini, Kejagung pun belum menggunakan hak jawabnya sehingga ia menilai aparat kebablasan.
Fickar berpandangan, penetapan Tian sebagai tersangka dapat dianggap tidak sah karena Kejagung tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam UU Pers.
“Jadi menurut saya ini tidak sahnya penetapan tersangka karena ada prosedur yang tidak diikuti. Kalau keberatan terhadap pemberitaan, kalau keberatan terhadap penyiaran, dan sebagainya, itu ada mekanismenya sendiri. Ada hak jawab, ada hak untuk melakukan counter, dan sebagainya,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, Kejagung menetapkan Tian dan dua advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, sebagai tersangka perintangan penyidikan kasus korupsi PT Timah Tbk, importasi gula di Kementerian Perdagangan, dan ekspor CPO. Kejagung menilai ada permufakatan jahat antara ketiganya dengan membangun opini publik lewat berita-berita negatif yang menyudutkan Kejagung.
Menurut Kejagung, berita-berita itu dibuat oleh Tian atas permintaan Marcella dan Junaedi dengan bayaran Rp 478.500.000 yang masuk ke kantong pribadi Tian. Modusnya, Marcella dan Junaedi menggelar seminar, talkshow, hingga demonstrasi dengan narasi negatif terkait penanganan perkara oleh Kejagung, lalu diliput dan dipublikasikan oleh Tian.
Sementara itu Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan menyatakan, proses hukum terhadap TB menyalahi prosedur karena persoalan mengenai karya-karya jurnalistik semestinya menjadi kewenangan Dewan Pers.
“Kasus TB (Tian Bahtiar) terkait dengan karya-karya jurnalis. Yang bisa menentukan bahwa karya-karya jurnalis ini adalah negatif, bermasalah, ada konspirasi, ada fitnah, buruk, itu adalah wilayahnya Dewan Pers,” kata Herik saat dihubungi, Selasa (22/4/2025).
“Jadi, ini adalah kesalahan prosedur yang dilakukan,” imbuh dia.
Di sisi lain, Komisi Kejaksaan menilai penetapan Tian sebagai tersangka oleh Kejagung didasari adanya pemufakatan jahat yang dibuat bersama seorang pengacara untuk menghalangi jalannya penyidikan sejak awal. Terlebih, penyidik menemukan adanya aliran dana ke kantong pribadi petinggi JAK TV tersebut.
Komjak menyebut penetapan tersangka terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV itu bukan didasari oleh konten pemberitaan negatif yang diduga diolah oleh Tian Bahtiar.
“Kalau kritik dijadikan skenario hukum berdasarkan pesanan, itu yang menjadi persoalan,” ucap Ketua Komjak Pujiyono. (807)