SINGARAJA | patrolipost.com – Bendesa Adat Kubutambahan Drs Jro Pasek Ketut Warkadea mengatakan, dirinya tidak menolak adanya rencana bandar udara (bandara) dengan menggunakan lahan milik desa adat (duen pura). Bahkan dia mempersilakan jika memang tujuan pemerintah membangun bandara itu untuk kesejahteraan dan peningkatan ekonomi Bali Utara.
Hanya saja, Jro Ketut Warkadea menyayangkan terjadinya polemik rencana pembangunan bandara yang tak kunjung habis. Bahkan menurutnya, makin tidak jelas arahnya. Terlebih banyak kepentingan yang melakukan intervensi ke Desa Adat Kubutambahan dan cenderung memecah soliditas warga desa adat.
“Pada prinsipnya kami tidak menolak rencana pembangunan bandara di lahan duen pura Desa Adat Kubutambahan. Jika memang dibangun di sana (lahan milik desa adat Kubutambahan, red) opsi yang kami sampaikan hak pemanfaatan lahan kami serahkan kepada Pemerintah Provinsi Bali maupun Pemkab Buleleng. Dan jika ada kegagalan rencana bandara itu disebabkan Gubernur Bali tidak konsisten menjembatani kepentingan antar pihak,” kata Jro Warkadea.
Menurutnya, sejak awal ia bersama prajuru adat lainnya selalu mengikuti rapat-rapat soal bandara yang melibatkan para pihak terkait yang difasiliatasi oleh Gubernur Bali Wayan Koster. Bahkan dalam salah satu sesi rapat Jro Warkadea mengaku meminta agar membuka pembicaraan dengan pemegang hak sewa lahan yakni PT Pinang Propertindo (PT PP) untuk membuka kemungkinan negosiasi soal lahan yang terlanjur dikontrak.
“Dan benar, PT PP dipanggil Gubernur dan saat itu kami hadir. Pada saat itu PT PP diminta untuk ikut sharing melalui penyertaan modal atau pola kerja sama. Pada saat itu dibuat tim appraisal untuk menilai besaran angkanya, namun berakhir tanpa titik temu. Dan sejak itu pembicaraan terhenti,” imbuhnya.
Dalam pembicaraan lebih lanjut, Jro Warkadea mengatakan, komunikasi dengan pihak provinsi makin tersendat setelah diketahui lahan tersebut menjadi jaminan di bank. Dan sempat terjadi perdebatan sengit yang menyoal status lahan yang menjadi jaminan dan hak tanggungan itu.
“Saat itu saya dianggap menerbitkan persetujuanan kepada PT PP untuk menjaminkan di bank. Namun saya kukuh mengatakan tidak melakukan itu dan 61 sertifikiat hak milik (SHM) saya perlihatkan kepada Gubernur. Karena yang menjadi jaminan hanya sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atasa nama PT PP. Isu yang dibuat bahwa SHM telah menjadi jaminan itu bohong,” tegasnya.
Jro Warkadea mengatakan, pembicaraan sempat mandeg akibat adanya kasus pandemi Covid-19. Namun belakangan, pernyataan Gubernur soal bandara menurut Warkadea tidak konsisten setelah muncul Perpres soal program strategis nasional (PSN).
”Skemanya yang dulu penyertaan modal dan tidak ada pelepasan satatus lahan, tiba–tiba berubah menjadi dua opsi. Opsi pertama lahan diganti uang dan opsi kedua diganti dengan lahan/tanah. Artinya ada jual beli terhadap lahan duen pura. Nah, soal opsi ditukar dengan tanah, kami belum tahu karena Gubernur menggunakan skema ini dengan fasilitas UU No.2/2012 soal pengadaan fasilitas Negara. Sepertinya diarahkan agar status lalah duen pure menjadi tanah negara dan baru digunakan bandara,” ucapnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat setempat yang juga ketua LSM Pemerhati Pembangunan Masyarakat Buleleng (P2MB) Gede Anggastia mengatakan, polemik yang terjadi belakangan soal lahan milik Desa Adat Kubutambahan seolah disengaja diciptakan untuk mendegradasi Jro Warkadea selaku bendesa adat. Bahkan menurutnya, dari tahun 2019 ada kecurigaan sengaja diciptakan menajemen konflik dalam persoalan lahan bandara.
Pria yang akrab disapa Anggas itu bahkan mengaku mengikuti semua proses dalam pembicaraan soal lahan bandara Kubutambahan sehingga sangat paham dengan dinamika yang berkembang. Termasuk selama proses pembicaraan oleh pemerintah provinsi soal bandara kepada lembaga adat dan 33 desa linggih tidak pernah diterbitkan surat undangan resmi untuk mereka.
“Ini kan soal bandara mestinya dilakukan surat undangan resmi yang mengundang lembaga adat. Yang aneh pada tanggal 6 Oktober 2020 Wakil Bupati Buleleng melakukan intervensi dengan mengundang para juru adat untuk rapat di Pura Bale Agung Kubutambahan. Ini jelas-jelas melanggar aturan dan awig di desa adat,” tandasnya. (625)