SINGARAJA | patrolipost.com – Polemik soal status lahan di kawasan Batu Ampar Desa Pejarakan Kecamatan Gerokgak kembali mengemuka setelah Nyoman Tirtawan selaku kuasa masyarakat yang menuntut lahan itu berangkat ke Jakarta melakukan aksi demo. Hal itu menuai reaksi dari mantan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana.
Kuasa hukum Agus Suradnyana, Gede Indria mengatakan, dari fakta hukum lahan Batu Ampar tersebut telah memiliki sertifikat berupa Hak Pengelola Lahan dan kemudian Hak Guna Bangunan dengan pemegang hak yang sah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Buleleng. Jika melihat fakta, lahan tersebut sejak tahun 1976 mempunyai sertifikat Hak Pengelola Lahan (HPL) No. 1 1976 atas nama Pemda Buleleng.
“Dulu istilahnya Pemda Tingkat II Buleleng, kemudian diatas HPL dimafaatkan badan hukum yang sah PT Prapat Agung, maka tahun 1991 keluarlah HGB yang umurnya 25 tahun yang kemudian kalau masih bagus bisa diperpanjang,” ungkap Indria saat bertemu dengan wartawan, pada Jumat (23/12).
Indria membenarkan ada upaya masyarakat untuk mengklaim lahan milik Pemkab Buleleng tersebut. Hanya saja, sudah dua kali dalam proses hukum hingga ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, mereka tidak mampu membuktikan klaim tersebut dengan bukti otentik.
“Sekarang malah ada kelompok masyarakat, apakah itu oknum masyarakat desa yang mengklaim bahwa tanahnya itu milik mereka, itu tidak ada bukti otentik. Oleh karena yang diajukan pembuktian saat sidang dahulu tahun 2000 adalah sertifikat HPL dan sertifikat HGB yang itu diterbitkan dengan cara-cara yang benar, tidak ada pelanggaran hukum,” kata Indria.
Indria berujar, fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam polemik Batu Ampar itu, bahkan disebutkan adanya sekelompok masyarakat mengajukan gugatan untuk menjadi hak milik.
“Dalam proses pengajuan hak milik, baru dalam proses 2 warga menjual kepada Nyoman Tirtawan. Kalau jual beli dilakukan secara baik, pasti diajukan di Camat atau PPAT atau di notaris,” jelas Indria.
Namun setelah proses pengajuan, lalu dijawab oleh BPN Buleleng jika lahan tersebut sudah ada sertifikat HPL. Akibatnya, mereka tidak diberi hak. Sebab jika diterbitkan akan menjadi tumpang tindih.
“Itu sudah ada putusan hukum, baik dalam putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, di Mahkamah Agung, dua kali melakukan putusan dikatakan HPL itu sah, HGB itu sah sampai pada batas waktu 25 tahun. Ini aturan hukum ada, seharusnya kalau ada persoalan hukum, bawa persoalan itu ke pengadilan,” terang Indria.
Sementara soal rencana melakukan pelaporan hukum terhadap kelompok masyarakat terkait polemik lahan Batu Ampar, dengan indikasi pencemaran nama baik maupun fitnah, Indria membenarkan.
“Sekarang dalam persoalan ini disinyalir ada ucapan yang menyebabkan perasaan tidak menyenangkan, kemudian ada juga pencemaran nama baik. Hukum itu sifatnya tidak saja menghukum tapi melindungi juga,” ungkap Indria.
Sementara itu Nyoman Tirtawan menyebutkan, sejak tahun 1952 warga Dusun Batu Ampar telah menerabas hutan belantara untuk bercocok tanam dan bermukim di atas tanah tersebut. Warga diberi surat kepemilikan tanah pada tahun 1959 sebagai bukti legalitas oleh Pemerintah.
Namun pada tahun 1976, lantaran pemerintah membutuhkan kapur sebagai bahan bangunan, maka diterbikan sertifikat HPL kepada Perusahaan Daerah Swatantra seluas 45 hektar di atas tanah pemukiman warga Dusun Batu Ampar. Di dalam sertifikat HPL tertulis kalimat “lamanya hak berlaku sepanjang tanah yang dimaksud dipergunakan untuk proyek pengapuran”.
Secara de facto, proyek pengapuran berakhir tahun 1980-an. Kemudian Bupati Buleleng dan Kepala Kantor Agraria Buleleng bersurat kepada Menteri Dalam Negeri pada tahun 1982, agar tanah yang terbit di atas sertifikat milik warga didistribusikan kepada 55 warga atas nama Raman dan kawan-kawan.
“Atas dasar itulah Menteri Dalam Negeri kemudian memutuskan dan menetapkan pendistribusian tanah tersebut kepada Raman dan kawan-kawan bersama 55 warga untuk dijadikan Hak Milk karena telah memenuhi syarat,” beber Tirtawan.
Dari 55 warga yang diberikan SK Mendagri tahun 1982, baru 4 warga diproses penerbitan sertifikatnya yaitu Ketut Salin, Marwiyah, Pan Deresna dan Adna. Sedangkan sisanya berjumlah 51 warga ditolak proses penerbitan sertifikatnya tanpa alasan yang jelas atau diperlakukan secara diskriminatif.
Pada bagian lain, Tirtawan menyebutkan sekitar tahun 2015 Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mencatatkan tanah milik warga tersebut sebagai asset Pemkab Buleleng tanpa dokumen, tanpa asal-usul dan tanpa nilai alias nol rupiah.
“Saya mempertanyakan alasan, kenapa Pemkab Buleleng menagih pajak bumi dan bangunan kepada 55 pemilik lahan yang katanya ada HPL? Dari dulu sampai tahun 2022, 55 warga Batu Ampar bayar pajak yang artinya ada kewajiban atas tanah. Pastinya ada hak atas tanah terkait,” pungkas Tirtawan.
Untuk diketahui, polemik Batu Ampar terus bergulir, bahkan kedua belah pihak mengaku memiliki dokumen atas penguasaan lahan itu sehingga Pj Bupati Buleleng, Ketut Lihadnyana akan segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan duduk bersama dan melibatkan seluruh pihak terkait dan bersengketa. (625)