JAKARTA | patrolipost.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers menyebut, sebanyak tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan aparat kepolisian, dalam aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja, pada Kamis (8/10) kemarin.
“Jumlah tersebut bisa bertambah dan masih terus menelusuri serta memverifikasi perkara,” kata Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung dalam keterangannya, Jumat (9/10).
Erick menyebut, sejumlah wartawan yang diintimidasi seperti Jurnalis CNN Indonesia.com Tohirin. Berdasarkan keterangan, Thohirin mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi, ketika ia meliput demonstran yang ditangkap kemudian dibogem di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
Hal serupa juga terjadi pada wartawan Suara.com, Petter Roti yang meliput di daerah Thamrin, Jakarta Pusat yang juga jadi sasaran polisi. Berdasarkan keterangan, Petter merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran. Sontak terduga seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampirinya.
Lantas, aparat meminta kamera pemuda itu, namun Peter menolak lantaran bahwa ia jurnalis yang resmi meliput. Polisi menolak pengakuan Peter, kemudian merampas kameranya.
Selain itu, jurnalis dari merahputih.com Ponco Sulaksono juga turut jadi sasaran amuk polisi. Menurut Erick, dia hilang beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui kalau ia dibekuk aparat. Kini, Ponco ditahan di Polda Metro Jaya.
Kemudian, jurnalis Radar Depok Aldi juga turut terciduk, karena sempat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Aldi bersitegang dengan polisi, nahas dia juga turut diciduk.
Erick menuturkan, polisi juga tak segan menangkap pers mahasiswa yang turut meliput aksi. Mereka diantaranya, Berthy Johnry, (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta), Syarifah, Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati, Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta). Mereka mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.
“AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” sesal Erick.
Untuk menjamin kemerdekaan pers, lanjut Erick, jurnalis dalam kerjanya mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sebagai tertuang pada Pasal 4 UU Pers. Serta setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
“Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU tersebut pun dapat dipidanakan,” cetus Erick.
Menurut Erick, kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan kepolisian kerap berulang. Sebelumnya juga terjadi pada aksi #Reformasidikorupsi. Namun hingga hari ini, perkara itu tidak rampung, meski kami telah melaporkan kasus itu ke polisi.
“Sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan. Oktober tahun 2019, kami telah melaporkan empat kasus kekerasan (2 laporan pidana dan 2 di Propam), namun tak satupun yang berakhir di meja pengadilan,” sesal Erick.
Meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas, sambung Erick, tetap saja jadi sasaran amuk polisi. Menurutnya, dalih polisi kartu pers wartawan tak kelihatan, maupun rencana penggunaan Pita Merah-Putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi. (305/jpc)