BORONG | patrolipost.com – Uang selalu menjadi daya tarik pada semua sisi kehidupan. Uang bisa disebut sebagai raja karena hampir semua urusan akan rampung dengan ketersediaan uang yang cukup. Uang maupun iming-iming bantuan pun menjadi godaan yang mematikan jelang Pilkada.
Godaan uang maupun barang akan membutakan hati nurani, mengesampingkan kualitas calon pemimpin dan tentunya akan menghambat kemajuan pembangunan daerah.
“Politik uang ada yang berupa lembaran rupiah dan ada juga berupa iming-iming barang dan jasa. Sebut saja meteran listrik dan lain sebagainya. Bantuan-bantuan dadakan seperti itu perlu diwaspadai karena nanti dikaitkan dengan paslon tertentu,” ungkap salah satu pemilih cerdas di Manggarai Timur NTT yang namanya dirahasiakan kepada patrolipost.com, Jumat (25/10/2024).
Bukan hal baru, pesta demokrasi sering tercoreng dengan kehadiran paslon yang sudah mapan dan ingin meraih kekuasaan dengan instan. Uang yang walaupun hasil pinjaman, syukur kalau uang sendiri pada kesempatan menjelang pesta demokrasi akan dibagi-bagikan kepada masyarakat untuk membeli suara.
Politik uang menghambat kemajuan karena belum tentu uang yang dibagikan uang paslon itu sendiri, bisa jadi hasil pinjaman. Nantinya jika paslon yang memakai politik uang lolos jadi pemimpin, prioritasnya adalah membayar utang dan bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri. Bagaimana dengan kepentingan rakyat? Tentu saja sudah selesai karena suaranya sudah lunas dibeli pemimpin.
“Dampaknya, pembangunan terkesan menghibur dan asal jadi. Yang penting terlihat ada pengerjaan infrastruktur dan lainnya, sedangkan kualitasnya hanya bertahan satu atau dua tahun,” tandasnya.
Pemimpin berkualitas harus ‘dibeli’ oleh rakyat. Rakyat membeli pemimpin bukan dengan uang, melainkan dengan mempersembahkan hati nurani untuk memilih pemimpin.
“Pemimpin yang menjadi harapan baru harus dibeli oleh rakyat dengan hati nurani. Memang untuk saat ini tidak langsung merasakan dampaknya, namun geliat pembangunan akan dilihat dan dirasakan seiring berjalannya waktu,” tegasnya.
Calon Pemimpin yang berniat tulus memajukan daerah pasti dicemooh dan dianggap tidak punya uang (untuk membeli suara rakyat) namun dari sisi baiknya, paslon yang demikian sebenarnya secara tidak langsung melatih rakyat untuk berpikir cerdas dalam seleksi pemimpin dan tidak bergantung pada iming-iming barang/jasa dan rupiah.
“Jika masih ada calon pemimpin yang membeli suara rakyat, masyarakat harus cerdas. Kalau dikasih uang maupun barang/jasa terima saja, namun jangan memilih orangnya. Selalu gunakan hati nurani untuk memilih pemimpin,” ungkap warga tersebut.
Sasaran politik uang adalah masyarakat kalangan bawah. Mereka yang menjadi sasaran tentunya tidak berpikir panjang tentang kualitas pemimpin, yang penting ada uang, pasti ada suara.
“Penegasannya adalah jika diberi uang, ditawari barang maupun jasa, terima saja. Jangan sekali-kali memilihnya saat pencoblosan karena itu menghambat kemajuan daerah,” ungkapnya.
“Pemimpin yang membeli suara rakyat dengan uang maupun barang dan jasa adalah calon pemimpin yang sedang putus asa dan sedang menampilkan awal sisi bobroknya jika terpilih jadi pemimpin. Kuncinya, terima saja uang maupun meteran listriknya, namun jangan pilih orangnya,” tutupnya. (pp04)